Keluarga; Tentukan Pola Berbahasa dan Berpikir
http://www.rumahkeluargaindonesia.com/wp-content/uploads/2013/05/lukisan.jpg |
Pendidikan dalam sekala
kecil kita boleh katakan dari keluarga. Keluarga menjadi begitu urgen dan fital
dalam pembentukan pola berfikir pada seorang anak. Contoh saja, ketika seorang
keluarga itu berlatar belakang seniman,
tentu pengenalan pertama orang tua secara tidak langsung menjurus kearah
tersebut. sampai-sampai pola seperti ini memunculkan pepatah “buah jatuh
tak jauh dari pohonnya”. Selain itu,
pola tersebut juga digunakan untuk meneruskan profesi dan apa yang dipunya
orang tua.
Guna mengetahui bagaimana
pola sebuah keluarga dalam menanamkan cara asuh, tentu kita harus terlebih
dahulu mengetahui keluarga itu mengadopsi sistem yang seperti apa. Bisa diartian
sistem keluarga yang diadopsi yaitu berupa sikap keluarga itu, dari caranya memberi
keterbukaan terhadap anak yang kemudian dikenal dengan introfet. Sedangkan kebalikan dari sistem tersebut berupa cara
keluarga itu bersifat sangat tertutup atau disebut extrofet.
Dalam konteks sekarang,
sistem ini tidak melulu diterapkan secara penuh pada keluarga. Kadang dalam
sebuah keluarga hanya bersikap extrofet
dan introfet diranah tertentu.
Semisal pembatasan sebuah keluarga dalam ranah bermain saja. hal seperti ini
kadang tercermin dalam perkataan seseorang ibu.
Jangan main bareng ini, jangan main di sungai atau semacamnya.
Pola seperti itu pula
yang akhirnya menjadi pembentukan pemikiran dari seseorang. Ketika sebuah
keluarga terlalu menekankan ektrofet
saja, tentu seorang anak akan menjadi berontak. Sedangkan ketika sebuah
keluarga hanya menekankan pada introfet
saja, seorang anak itu akan terlalu bebas atau liar dalam pergaulan, meskipun
keuntungan dalam hal ini adalah seorang anak mampu dengan mudah dalam berbaur.
Mungkin jika saya
terapkan pada keluarga saya. Mungkin dari ibu, ia lebih bersikap ektrofet terhadap saya dalam hal
pergaulan. Tidak semata-mata melarang dan berhati-hati, mungkin juga ada alasan
yang mendasari itu. lingkungan saya yang notabene lingkungan orang perantauan,
tentu mendatangkan budaya-budaya dari luar. Adalah salah satu pertimbangan dari
pelarangan itu.
Berbeda dengan dalam
masalah pendidikan. Ibu saya selalau
bersikukuh ingin terus melanjutkan tingkat sekolah saya. Bisa jadi motifnya adalah kata-kata mbah kakung. Beliau pernah
mengatakan “jangan pernah jadi gatot koco”.
Kenapa gatot kaca? Gatot kaca adalah
lambang keintansnan di sebuah kisah wayang.
Perkatan tersebut juga bisa diarartikan bahwa orang itu harus menghormati
proses.
Pembentukan
pola berbahasa
Selain membentuk pola
befikir, keluarga juga menjadi kontrol yang paling dekat. Disinilah kedua orang
tua kemudian turun menjadi seorang guru. Lantas, mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang secara spontan. Terutama anak pada usia 3-7.
Saat orang tua, tidak
mampu menjawab pertanyaan –pertanyaan yang luar biasa yang lahir secara spontan
dari anak. Tidak dapat dipungkiri seorang anak itu akan mendapat jawaban dari
lingkungan atau di luar keluarga, yang bisa dikatakan jawaban tersebut kadang
lebih kasar dan gamblang. Umpamanya, ketika anak bertanya soal alat reproduksi.
Disinilah seorang
keluarga atau peran orang tua sebagai guru, dan mampu mengemas segala sesuatu
dengan bahasa yang lebih halus dan memahamkan. Hal lain yang tentu perlu diperhatikan oleh
sebuah keluarga tentu berhati-hati bertutur kata didepan anak.
Seperti halnya dalam
keluarga saya. Selain lingkungan yang mempengaruhi berbahasa saya, kakek juga
turut berpengaruh dalam gaya berbicara saya. Ada beberapa karakter berbahasa
saya yang mungkin berasal dari keluarga. Seperti “kakekane” atau “bidak” yang
hampir di ucapkan kakek saya setiap kesal. Dan makna dalam kata-kata itu
dianggap paling kasar dimasyarakat saya.
Tidak semata-mata
ucapan itu terlahir dari kakek sendiri, mungkin kakek saya mengucapkan seperti
itu tercipta atas latar belakangnya sebagai penggembala sapi. Tidak heran juga
ketika kakek seorang gembala dan selalu di suguhi dengan perkara yang
menjengkelkan, tentu perkataan itu adalah hal yang wajar. Tetapi berbeda
konteksnya jika perkataan itu di hadirkan dirumah, dihadapan cucunya yang baru berumur
2-7 tahunan.
Tetapi untungnya kontrol berbahasa, saya dapat dari ibu. ibu
yang selalu keras dalam menidak dengan memukul mulut, sampai-sampai titik
paling ekstrim dari itu, berupa mulut yang berdarah.
0 komentar: