Keluarga; Tentukan Pola Berbahasa dan Berpikir

18.32 0 Comments

http://www.rumahkeluargaindonesia.com/wp-content/uploads/2013/05/lukisan.jpg
Pendidikan dalam sekala kecil kita boleh katakan dari keluarga. Keluarga menjadi begitu urgen dan fital dalam pembentukan pola berfikir pada seorang anak. Contoh saja, ketika seorang keluarga itu berlatar belakang  seniman, tentu pengenalan pertama orang tua secara tidak langsung menjurus kearah tersebut. sampai-sampai pola seperti ini memunculkan pepatah “buah jatuh tak  jauh dari pohonnya”. Selain itu, pola tersebut juga digunakan untuk meneruskan profesi dan apa yang dipunya orang tua.
Guna mengetahui bagaimana pola sebuah keluarga dalam menanamkan cara asuh, tentu kita harus terlebih dahulu mengetahui keluarga itu mengadopsi sistem yang seperti apa. Bisa diartian sistem keluarga yang diadopsi yaitu berupa sikap keluarga itu, dari caranya memberi keterbukaan terhadap anak yang kemudian dikenal dengan introfet. Sedangkan kebalikan dari sistem tersebut berupa cara keluarga itu bersifat sangat tertutup atau disebut extrofet.
Dalam konteks sekarang, sistem ini tidak melulu diterapkan secara penuh pada keluarga. Kadang dalam sebuah keluarga hanya bersikap extrofet dan introfet diranah tertentu. Semisal pembatasan sebuah keluarga dalam ranah bermain saja. hal seperti ini kadang tercermin dalam perkataan seseorang ibu.  Jangan main bareng ini, jangan main di sungai atau semacamnya.
Pola seperti itu pula yang akhirnya menjadi pembentukan pemikiran dari seseorang. Ketika sebuah keluarga terlalu menekankan ektrofet saja, tentu seorang anak akan menjadi berontak. Sedangkan ketika sebuah keluarga hanya menekankan pada introfet saja, seorang anak itu akan terlalu bebas atau liar dalam pergaulan, meskipun keuntungan dalam hal ini adalah seorang anak mampu dengan mudah dalam berbaur.
Mungkin jika saya terapkan pada keluarga saya. Mungkin dari ibu, ia lebih bersikap ektrofet terhadap saya dalam hal pergaulan. Tidak semata-mata melarang dan berhati-hati, mungkin juga ada alasan yang mendasari itu. lingkungan saya yang notabene lingkungan orang perantauan, tentu mendatangkan budaya-budaya dari luar. Adalah salah satu pertimbangan dari pelarangan itu.
Berbeda dengan dalam masalah pendidikan. Ibu  saya selalau bersikukuh ingin terus melanjutkan tingkat sekolah saya. Bisa jadi motifnya  adalah kata-kata mbah kakung. Beliau pernah mengatakan “jangan pernah jadi gatot koco”.  
Kenapa gatot kaca? Gatot kaca adalah lambang keintansnan di sebuah kisah wayang. Perkatan tersebut juga bisa diarartikan bahwa orang itu harus menghormati proses.
Pembentukan pola berbahasa
Selain membentuk pola befikir, keluarga juga menjadi kontrol yang paling dekat. Disinilah kedua orang tua kemudian turun menjadi seorang guru. Lantas, mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang secara spontan. Terutama anak pada usia 3-7.
Saat orang tua, tidak mampu menjawab pertanyaan –pertanyaan yang luar biasa yang lahir secara spontan dari anak. Tidak dapat dipungkiri seorang anak itu akan mendapat jawaban dari lingkungan atau di luar keluarga, yang bisa dikatakan jawaban tersebut kadang lebih kasar dan gamblang. Umpamanya, ketika anak bertanya  soal alat reproduksi.
Disinilah seorang keluarga atau peran orang tua sebagai guru, dan mampu mengemas segala sesuatu dengan bahasa yang lebih halus dan memahamkan.  Hal lain yang tentu perlu diperhatikan oleh sebuah keluarga tentu berhati-hati bertutur kata didepan anak.
Seperti halnya dalam keluarga saya. Selain lingkungan yang mempengaruhi berbahasa saya, kakek juga turut berpengaruh dalam gaya berbicara saya. Ada beberapa karakter berbahasa saya yang mungkin berasal dari keluarga. Seperti “kakekane” atau “bidak” yang hampir di ucapkan kakek saya setiap kesal. Dan makna dalam kata-kata itu dianggap paling kasar dimasyarakat saya.  
Tidak semata-mata ucapan itu terlahir dari kakek sendiri, mungkin kakek saya mengucapkan seperti itu tercipta atas latar belakangnya sebagai penggembala sapi. Tidak heran juga ketika kakek seorang gembala dan selalu di suguhi dengan perkara yang menjengkelkan, tentu perkataan itu adalah hal yang wajar. Tetapi berbeda konteksnya jika perkataan itu di hadirkan dirumah, dihadapan cucunya yang baru berumur 2-7 tahunan.
Tetapi untungnya  kontrol berbahasa, saya dapat dari ibu. ibu yang selalu keras dalam menidak dengan memukul mulut, sampai-sampai titik paling ekstrim dari itu, berupa mulut yang berdarah.

afifi

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard. Google

0 komentar: