Mendongeng Perihal "Bunga Kelapa"

08.28 0 Comments

dok. internet
Beberapa kelok ombak menerangkan betapa manisnya pantai saat ini. dengan cahaya matahari yang siap menghangatkan penduduk desa. Dari persawahan burung-burung sedang ribut dengan cicit anaknya di pohon “jaranan”. Para lelaki siap dengan cangkul, sabit dan kranjang mereka.
Selamat pagi, kemudian itulah rasanya ucapan yang pas menyapa kampung halamanku. Desa Manggar namanya, dengan cuaca khas kota Rembang -panas dan gersang- tak heran jika beberapa desa sudah mulai dengan masa tanam padi, tapi desaku belum apa-apa.
Kenapa manggar? Pertanyaan itu yang masih belum terjawab sampai sekarang olehku dan beberapa anak sebaya dengan ku. Jika sewaktu-waktu kalian bertanya pada orang-orang disana kenapa desa manggar? Mungkin jawaban yang akan disampaikan sangat beragam.
Jawaban pertama mungkin yang akan anda temui adalah legenda mengenai beberapa cerita tentang Sunan Bonang. tak khayal memang jika desaku dikaitkan dengan Sunan Bonang. karena tak jauh dari wilayah desaku, terdapat pasujudan sunan bonang yang terdapat di desa Bonang, Lasem.
Legendanya dimulai dari pengejaran Sunan Bonang terhadap Blacak Ngilo, siapakah dia? Adalah pertanyaan besar sampai saat ini. orang-orang sekitar hanya menggambarkan bahwa Blacak Ngilo adalah orang yang jahat itu saja. lanjut cerita, akhinya mereka bertemu dan terjadi pertempuran sengit. Blacak Ngilo pun akhirnya kalah dalam pertempuran tersebut dan dia kemudian bersembunyi dalam bunga kelapa (manggar). Itulah asal mula nama desa saya yang di ceritakan oleh Abdul Chamim (guru mts saya).
Hal lain yang mungkin menarik bagi saya selain asal-usul nama adalah mitos yang beredar bahwa dulu pernah ada naga yang sedang meminum lautan. Hingga datanglah Sunan Bonang yang memukulnya hingga menjadi batu. Sekarang batu yang mirip naga itu di namai Watu Nogo yang terletak di bagian utara desa. Persis tepat ditebing yang menghadap ke pantai.
Tetapi perkara yang perlu digaris bawahi perihal desa saya adalah perekonomiannya. Mulai tahun 1996 sampai sekarang, desa manggar adalah pengirim TKI rutinan setiap tahun. Mulai dari remaja 16 tahun atau sampai 40 tahun. Tak jarang juga ada yang menetap dan menjadi warga negara disana.
Negara Malaysia adalah primadona dan impian remaja saat ini. negara yang menyuguhkan pekerjaan dan ganji yang cukup menggiurkan adalah faktor utama mereka datang kesana. Selain itu mereka juga tak usah repot-repot belajar bahasa asing, seperti halnya di hongkong atau timur tengah.
Perbedaan yang menonjol dari kegiatan ini dulu sampai sekarang terlihat bagaimana mereka masuk. Kalau dulu mereka masuk secara ilegal dengan konsekuensi harus uber-uberan sama polisi. Tapi berangsurnya waktu kesadaraan itu tumbuh. Mengenai jalur masuk yang mereka tempuh saat masih ilegal, beberapa dari mereka pernah bercerita, jalur untuk masuk kesana melalui jalan tikus. Biasanya di Batam dan Kalimantan.
Ketika mereka masuk dengan cara yang legal juga ada biaya yang diperlukan. Untuk mengurus surat izin berupa paspor dan lain sebagainya mereka harus merogoh kocek sedikitnya sepuluh juta. Dan mereka juga harus melewati juga cek kesehatan atau medis. Tak sedikit dari mereka gagal dalam tahap ini dan tidak jadi berangkat. Kesehatan yang banyak disoroti seperti jantung, paru-paru dan riwayat kesehatan lainnya.
Tentu dari kegiatan keluar masuknya meraka kenegara orang ini juga memberi dampak untuk desa saya. Perekonomian yang semakin membaik dan tak jarang dari salah satu TKI bisa baca dan menulis karena kegiatan yang mereka lakukan. Semisal bapak saya. Karena desakan dari petugas imigrasi, beliau dapat menulis dan membaca namanya sendiri. Tapi perlu disayangkan juga beberapa dampak negatifpun tak kalah merepotkan. Seperti halnya konsuntif dan individualis khas metropolitan.
Sekarang matahari telah redam dan siap mengusir gerah, ia jatuh tepat dibaris paling belakang dari gulungan ombak-ombak yang tampak kuning itu. Angin malam lantas siap melarung keindahannya dan kapal-kapal jauh ke utara bumi. Pohon-pohon “jaranan” yang tampak hijau kini berubah menjadi sosok wanita jangkung yang lenyap dalam kelapan. Cicit burung kini tergantikan dengan pelukan hangat para ibu-ibu yang sibuk menimang bayinya. Dan para lelaki sibuk dengan hidangannya- obrolan, kopi dan rokok. 

afifi

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard. Google

0 komentar: