Sandal dan Pengkastaan Simbolik

01.15 0 Comments

Dok. Internet
“Jangan menilai orang dari sampulnya” rasanya kata-kata itu begitu naif jika kita lihat pada realitanya. Banyak orang yang secara gampang menyimpulkan “sikap” seseorang dari pandangan pertamanya, semisal dia baik atau tidak hanya pada cara ia berpakaian.
Jadi apakah sebegitu mudahnya “sikap” seseorang diputuskan? Sesempit itukah proses penilaian? Memang tidak dapat dipungkiri jika itu terjadi. Dalam satu proses penilaian seseorang bisa saja hanya mengedepankan daya tangkap “mata” yang sesingkat itu, sehingga secara tidak langsung mereka dapat mengatakan si A ini baik atau buruk. Lantas itulah yang mengakibatkan ada kata-kata “kesan pertama itulah yang akan selalu di ingat orang”.
Tapi hal itu perlu diklarifikasi. Setelah berdiskusi dengan senior saya (mas Aam) itu  merupakan kekerasan simbolik, dan hanya akan membuat habitus. Maksutnya, secara tidak langsung seseorang akan memetakan atau memberi kasta pada masing-masing individu dalam konteks ini dengan hanya cara berpakaian saja. contohnya ia memaikai sandal.
Sebelum mengulas tentang sandal mampu menciptakan kasta. Saya ingin mengajak kalian sebagai pembaca bernostalgia sebentar mengenai asal-usul sandal. Ketika secara tidak langsung, kemarin saat mas Fahmi berselancar di dunia maya, saya ikut membaca asal-usul atau sejarah sandal itu sendiri.
Jadi dalam pembacaan dan pencernaan tersebut ada dua fersi pendapat mengenai asal-usul sandal. Pertama adalah fersi secara serius. Salah satu blog meyakini, bahwa sandal sudah ada pada zaman Mesir kuno. Sedangkan fersi kedua, tentu dengan genre humor meskipun masih sama dalam satu blog, juga dituliskan bahwa: sandal sendiri ditemukan oleh orang Indonesia yang bernama Udin. Dalam blog itu pula disebutkan, kenapa namanya Udin? Karena dalam pengakuan si Udin ini selalu menemukan sandal pada saat selesai ke masjid.
Kembali pada topik. Pengkastaan yang disebabkan sandal atau lebih tepatnya alas kaki ini, sebenarnya akibat dari adanya alih fungsi pada sandal itu sendiri. Ketika pada zaman dahulu sandal hanya sebagai perlindung telapak kaki, tetapi sandal sekarang lebih dari itu. sandal sekarang lebih sebagai asesoris dalam penampilan seseorang. Sandal sendiri bisa dianggap sebagai perkara penting untuk menunjang panampilan mereka.
Mungkin hal ini juga menjadi pertimbangan kampus FITK (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan) mewajibkan mahasiswanya memakai pantofel. Pantofel dianggap lebih cocok mewakili sosok seorang guru dari pada sepatu lain. Begitu pula dengan sandal, ketika orang memakai sandal jepit, dianggap orang yang kurang mampu atau ketika orang sandal yang tinggi highheel dianggap orang yang suka dandan dan mengikuti perkembangan zaman.
Pola-pola yang seperti itu, kemudian tertanam secara tidak langsung pada masyarakat. Labeling yang seharusnya memerlukan waktu lama dan membutuhkan beberapa tahap, salah satunya nimbrung atau ngobrol bareng, hilang dengan gampangnya karena kesan pandang saja. akibatnya tentu akan lebih terasa, pemilahan-pemilahan dalam mencari teman bersendaguraupun akan terasa dibatasi.
Kasta yang seharusnya sudah dihapuskan kini dapat di hadirkan lagi dengan cara-cara simbolik. Hal-hal semacam ini akan terus berkembang sebelum ada kontrol dari dalam diri itu sendiri.


afifi

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard. Google

0 komentar: