Sandal dan Pengkastaan Simbolik
Dok. Internet |
“Jangan menilai orang dari sampulnya” rasanya kata-kata itu begitu naif jika kita lihat pada realitanya. Banyak orang yang secara gampang menyimpulkan “sikap” seseorang dari pandangan pertamanya, semisal dia baik atau tidak hanya pada cara ia berpakaian.
Jadi
apakah sebegitu mudahnya “sikap” seseorang diputuskan? Sesempit itukah proses
penilaian? Memang tidak dapat dipungkiri jika itu terjadi. Dalam satu proses
penilaian seseorang bisa saja hanya mengedepankan daya tangkap “mata” yang
sesingkat itu, sehingga secara tidak langsung mereka dapat mengatakan si A ini
baik atau buruk. Lantas itulah yang mengakibatkan ada kata-kata “kesan pertama
itulah yang akan selalu di ingat orang”.
Tapi
hal itu perlu diklarifikasi. Setelah berdiskusi dengan senior saya (mas Aam)
itu merupakan kekerasan simbolik, dan
hanya akan membuat habitus. Maksutnya, secara tidak langsung seseorang akan
memetakan atau memberi kasta pada masing-masing individu dalam konteks ini dengan
hanya cara berpakaian saja. contohnya ia memaikai sandal.
Sebelum
mengulas tentang sandal mampu menciptakan kasta. Saya ingin mengajak kalian
sebagai pembaca bernostalgia sebentar mengenai asal-usul sandal. Ketika secara
tidak langsung, kemarin saat mas Fahmi berselancar di dunia maya, saya ikut
membaca asal-usul atau sejarah sandal itu sendiri.
Jadi
dalam pembacaan dan pencernaan tersebut ada dua fersi pendapat mengenai
asal-usul sandal. Pertama adalah fersi secara serius. Salah satu blog meyakini,
bahwa sandal sudah ada pada zaman Mesir kuno. Sedangkan fersi kedua, tentu
dengan genre humor meskipun masih sama dalam satu blog, juga dituliskan
bahwa: sandal sendiri ditemukan oleh orang Indonesia yang bernama Udin. Dalam blog
itu pula disebutkan, kenapa namanya Udin? Karena dalam pengakuan si Udin ini
selalu menemukan sandal pada saat selesai ke masjid.
Kembali
pada topik. Pengkastaan yang disebabkan sandal atau lebih tepatnya alas kaki
ini, sebenarnya akibat dari adanya alih fungsi pada sandal itu sendiri. Ketika pada
zaman dahulu sandal hanya sebagai perlindung telapak kaki, tetapi sandal
sekarang lebih dari itu. sandal sekarang lebih sebagai asesoris dalam
penampilan seseorang. Sandal sendiri bisa dianggap sebagai perkara penting
untuk menunjang panampilan mereka.
Mungkin
hal ini juga menjadi pertimbangan kampus FITK (Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan) mewajibkan mahasiswanya memakai pantofel. Pantofel dianggap lebih
cocok mewakili sosok seorang guru dari pada sepatu lain. Begitu pula dengan
sandal, ketika orang memakai sandal jepit, dianggap orang yang kurang mampu
atau ketika orang sandal yang tinggi highheel dianggap orang yang suka
dandan dan mengikuti perkembangan zaman.
Pola-pola yang
seperti itu, kemudian tertanam secara tidak langsung pada masyarakat. Labeling
yang seharusnya memerlukan waktu lama dan membutuhkan beberapa tahap, salah
satunya nimbrung atau ngobrol bareng, hilang dengan gampangnya karena kesan
pandang saja. akibatnya tentu akan lebih terasa, pemilahan-pemilahan dalam mencari
teman bersendaguraupun akan terasa dibatasi.
Kasta
yang seharusnya sudah dihapuskan kini dapat di hadirkan lagi dengan cara-cara
simbolik. Hal-hal semacam ini akan terus berkembang sebelum ada kontrol dari
dalam diri itu sendiri.
0 komentar: