Memilah “Nabi Palsu”
Mahasiswa adalah elemen terpenting di negara ini. Beberapa
perubahan pun terjadi, disebabkan oleh makhluk bernama “mahasiswa”. Seperti penurunan
rezim Soeharto. Hari ini pun sama, mahasiswa masih menjadi elemen yang “masih”
dikatakan berpengaruh di Indonesia. Tentu berbeda dengan yang dulu, mahasiswa
hari ini lebih berkutat pada karya yang langsung berimbas pada dirinya sendiri.
Semisal, tujuan mereka hanya mencari ijazah agar memperingan kerja mereka.
Hanya segelintir saja, kampus yang masih menggelorakan
“teriakkan-teriakkan”. Di UIN Walisongo misalnya, meskipun itu bukan berangkat
dari birokrasi melainkan dari mahasiwa sendiri. Bahkan hingga saat ini,
mahasiwa yang mempunyai jiwa seperti itu merupakan mahasiswa yang paling eksis
dan keren dimata para mahasiwa lainnya. Dialektika
yang mempuni dan ilmu yang berangkat dari pengalaman adalah faktor mereka tetap
eksis. Mahasiswa yang mempunyai kadar keeksisan diantara mahasiswa inilah yang
kemudian disebut “nabi palsu”.
“Nabi palsu” adalah salah satu sebutan untuk para senior dikampus.
Selain faktor diatas, pusat perhatian pulalah yang ikut membesarkan namanya.
Apalagi keramahan dan kehangatan yang
mereka sajikan untuk para juniornya (kopi hangat, teh hangat dan yang
hangat-hangat lainnya), membuat para junior makin betah dan krasan
dekat-dekat dengan mereka.
Berbicara soal senior. Kita dapat memetik beberapa hal positif.
Kalau dari pengalaman saya sendiri,
melalui seniorlah saya mampu mengetahui beberapa tokoh-tokoh Indonesia yang
hampir terlupakan. Tan Malaka dan Soe Hok Gie, misalnya. Pengetahuan saya
tentang kedua tokoh itu berasal dari senior yang tidak diajarkan disekolah SMA
dan beberapa sejarah yang disembunyikan di SMA.
Tapi tidak dipungkiri, ada beberapa hal negatif juga. Beberapa dampak
itu berupa, kita akan terlalu berfikir lebih maju karena imbas dari pergaulan
yang selalu sering terhadap senior ketimbang dari angkatan. Sehingga mau tidak
mau kita juga dianggap “senior” diantara angkatan kita. Satu lagi dampak
negatif dari itu, kita jadi tidak punya rasa sungkan terhadap senior
karena terlalu dekatnya. Dan yang paling parah “senior” yang otoriter bisa
dikatakan mampu mengendelakikan hidup kita, jika kita tidak mampu menyaring
pemikiran “beliau-beliau”.
Terlepas dari itu, hal yang mampu kita ambil dan pelajari adalah
mampu memetakan beberapa senior atau “nabi palsu” agar kita tidak
terjerumus. Ada kata-kata bijak yang
saya dapat (dari senior pula) yang kebetulan ngobrol di Buds Caffee
mengatakan “sebeuruk-buruk senior itu jangan dijauhi tapi didekati, karena
mereka lebih lama dan berpengalaman dari kita”.
0 komentar: