Memilah “Nabi Palsu”

15.04 0 Comments

Mahasiswa adalah elemen terpenting di negara ini. Beberapa perubahan pun terjadi, disebabkan oleh makhluk bernama “mahasiswa”. Seperti penurunan rezim Soeharto. Hari ini pun sama, mahasiswa masih menjadi elemen yang “masih” dikatakan berpengaruh di Indonesia. Tentu berbeda dengan yang dulu, mahasiswa hari ini lebih berkutat pada karya yang langsung berimbas pada dirinya sendiri. Semisal, tujuan mereka hanya mencari ijazah agar memperingan kerja mereka.
Hanya segelintir saja, kampus yang masih menggelorakan “teriakkan-teriakkan”. Di UIN Walisongo misalnya, meskipun itu bukan berangkat dari birokrasi melainkan dari mahasiwa sendiri. Bahkan hingga saat ini, mahasiwa yang mempunyai jiwa seperti itu merupakan mahasiswa yang paling eksis dan keren dimata para mahasiwa lainnya.  Dialektika yang mempuni dan ilmu yang berangkat dari pengalaman adalah faktor mereka tetap eksis. Mahasiswa yang mempunyai kadar keeksisan diantara mahasiswa inilah yang kemudian disebut “nabi palsu”.
“Nabi palsu” adalah salah satu sebutan untuk para senior dikampus. Selain faktor diatas, pusat perhatian pulalah yang ikut membesarkan namanya. Apalagi keramahan dan  kehangatan yang mereka sajikan untuk para juniornya (kopi hangat, teh hangat dan yang hangat-hangat lainnya), membuat para junior makin betah dan krasan dekat-dekat dengan mereka.
Berbicara soal senior. Kita dapat memetik beberapa hal positif. Kalau  dari pengalaman saya sendiri, melalui seniorlah saya mampu mengetahui beberapa tokoh-tokoh Indonesia yang hampir terlupakan. Tan Malaka dan Soe Hok Gie, misalnya. Pengetahuan saya tentang kedua tokoh itu berasal dari senior yang tidak diajarkan disekolah SMA dan beberapa sejarah yang disembunyikan di SMA.
Tapi tidak dipungkiri, ada beberapa hal negatif juga. Beberapa dampak itu berupa, kita akan terlalu berfikir lebih maju karena imbas dari pergaulan yang selalu sering terhadap senior ketimbang dari angkatan. Sehingga mau tidak mau kita juga dianggap “senior” diantara angkatan kita. Satu lagi dampak negatif dari itu, kita jadi tidak punya rasa sungkan terhadap senior karena terlalu dekatnya. Dan yang paling parah “senior” yang otoriter bisa dikatakan mampu mengendelakikan hidup kita, jika kita tidak mampu menyaring pemikiran “beliau-beliau”.

Terlepas dari itu, hal yang mampu kita ambil dan pelajari adalah mampu memetakan beberapa senior atau “nabi palsu” agar kita tidak terjerumus.  Ada kata-kata bijak yang saya dapat (dari senior pula) yang kebetulan ngobrol di Buds Caffee mengatakan “sebeuruk-buruk senior itu jangan dijauhi tapi didekati, karena mereka lebih lama dan berpengalaman dari kita”.         

afifi

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard. Google

0 komentar: