Aku Korban Kenangan
Zaman ini sudah lama berlangsung luka. Begitulah kita. Orang lebih suka membuka ingatan, tentang luka dan segala duka. Tentang benci dan masa ingatan paling menyakitkat. Bukankah kita memang sepantasnya terus mengingat sesuatu yang jauh berlalu dari zaman ini? Bukankah itu sebuah pembelajaran yang akan kita gunakan sebagai jalan meniti masa depan? Itulah kenangan.
Kenangan juga bentuk dari
kita mengungkapkan sejarah. Seperti kata Muyas dalam tulisannya yang kembali mengenang
rasa berapi-apinya dulu dilereng Merapi. Mungkin ia membutuhkannya sebagai
penyemangat diantara semua garis-garis mati yang terus memburu. Atau soal
kata-kata yang mulai menumpuk diotak kita tanpa bisa kita keluarkan. Begitulah kenangan
kadang hadir sebagai adanya sejarah- untuk diri sendiri dan orang lain. Kenangan
juga berfungsi sebagai bentuk yang sulit didefinisikan dalam otak saya.
Lewat kenangan seorang
kawanku juga bercerita- nafsuku hilang dalam organisasi. Seolah ada tempat yang
paling luas untuk kenangan. Kita telah membuat porsi yang banyak disana. Tanpa ada
keseimbangan. Kita lupa mengungkap cerita hari ini dan mimpi esok yang akan
datang. Kenangan telah membuat kita buta.
Seperti halnya sekarang. Masa
lalu dan dongeng para leluhur kita telah membelah kita, telah membuat sekat
kita, telah memberi candu kita. Leluhur kita mewariskan dongeng kepahlawaan
yang heroik. Bahwa mereka bisa membuat satu buku dengan tiga pasukan, atau
mengalahkan kata-kata mereka dengan beberapa pahlawa saja. Tentu jangan
dibayangkan ini seperti film kolosal asal China. Kita butuh pasukan yang banyak
sekali dan strategi.
Namun leluhur kita tidak
seperti itu. Mungkin itulah kisah Iron Man, Captain Amirica bisa
tercipta. Mereka adalah tokoh yang bisa kerja sendiri tanpa pasukan sekalipun. Namun
mereka punya sifat super tidak seperti film China yang harus beramai-ramai.
Candu
Goenawan Mohammad telah mengatakan. Orang menulis sejarah itu sangat rawan. Seperti melipat origami. Mudah terbang. Tapi tidak salah juga menurut Agus Noor, bahwa pandangan pahlawan soal sudut pandang “siapa yang menulis”. Itu tak ubahnya sebuah sejarah. Siapa yang menulis itu poinnya.
Itulah yang kita hadapi. Merekalah
yang menulis sejarah. Kitalah korban sejarah. Korban dari kenangan-kenangan
yang makin melayang dalam otak kita. Seolah kita telah dibentangkan sebuah
garis merah yang harus terus ditapak, dengan segala arahan leluhur kita. Melalui
almana-almanak yang entah dapat diyakini atau tidak. Tapi begitulah kita
disetir secara tidak langsung.
Akhirnya kita selalu
ketergantungan akan masa lalu. Kita lupa harus membuat jalur sendiri. Bahkan kita
lupa harus menghadapi badai yang ada. Dan memperkuat kita dengan perkataan “bukankah
kita sudah dijalan”. Dan saling mengatakan kepada diri kita “kita telah dalam
garis yang lurus” meskipun itu hal yang buruk untuk kita.
Tampaknya kita harus
berubah. Tanpa siapapun dan tanpa apapun senjata yang ada di genggaman. Kita berbeda
dengan kisah-kisah pahlawan super seperti Iron Man dan kawan-kawanya. Kita
adalah rombongan dalam film China klasikal. Kita butuh benteng dan butuh
pasukan berkuda. Berdiri dalam satu komando dan membuat perubahan itu yang
terpenting. Menggaris bahwahi: Kita hidup
di zaman sekarang, dan akan hidup pada masa yang akan datang tapi jangan
lupakan kita juga butuh belajar dari kenangan. Agar kita tidak terperosok lagi.
Bukankah itu proses.
Karena ingat proses itu
soal menghadapi waktu yang lama. Kita tidak bisa instans seperti pahlawan super
seperti Marvel produksi. Bukankah yang instans akan membuat hal yang merugikan.
Seperti Iron Man ia pahlawan, tapi lihat dampaknya, mereka telah membuat
kerusakan pada kota-kota mereka sendiri. Padahal itu bentuk warisan peradaban
untuk masa depan anak cucu.
Selamat berproses. kawan
0 komentar: