Aku Korban Kenangan

22.27 , 0 Comments

Zaman ini sudah lama berlangsung luka. Begitulah kita. Orang lebih suka membuka ingatan, tentang luka dan segala duka. Tentang benci dan masa ingatan paling menyakitkat. Bukankah kita memang sepantasnya terus mengingat sesuatu yang jauh berlalu dari zaman ini? Bukankah itu sebuah pembelajaran yang akan kita gunakan sebagai jalan meniti masa depan? Itulah kenangan.
            Kenangan juga bentuk dari kita mengungkapkan sejarah. Seperti kata Muyas dalam tulisannya yang kembali mengenang rasa berapi-apinya dulu dilereng Merapi. Mungkin ia membutuhkannya sebagai penyemangat diantara semua garis-garis mati yang terus memburu. Atau soal kata-kata yang mulai menumpuk diotak kita tanpa bisa kita keluarkan. Begitulah kenangan kadang hadir sebagai adanya sejarah- untuk diri sendiri dan orang lain. Kenangan juga berfungsi sebagai bentuk yang sulit didefinisikan dalam otak saya.
            Lewat kenangan seorang kawanku juga bercerita- nafsuku hilang dalam organisasi. Seolah ada tempat yang paling luas untuk kenangan. Kita telah membuat porsi yang banyak disana. Tanpa ada keseimbangan. Kita lupa mengungkap cerita hari ini dan mimpi esok yang akan datang. Kenangan telah membuat kita buta.
            Seperti halnya sekarang. Masa lalu dan dongeng para leluhur kita telah membelah kita, telah membuat sekat kita, telah memberi candu kita. Leluhur kita mewariskan dongeng kepahlawaan yang heroik. Bahwa mereka bisa membuat satu buku dengan tiga pasukan, atau mengalahkan kata-kata mereka dengan beberapa pahlawa saja. Tentu jangan dibayangkan ini seperti film kolosal asal China. Kita butuh pasukan yang banyak sekali dan strategi.
            Namun leluhur kita tidak seperti itu. Mungkin itulah kisah Iron Man, Captain Amirica bisa tercipta. Mereka adalah tokoh yang bisa kerja sendiri tanpa pasukan sekalipun. Namun mereka punya sifat super tidak seperti film China yang harus beramai-ramai.

Candu
   
         Goenawan Mohammad telah mengatakan. Orang menulis sejarah itu sangat rawan. Seperti melipat origami. Mudah terbang. Tapi tidak salah juga menurut Agus Noor, bahwa pandangan pahlawan soal sudut pandang “siapa yang menulis”. Itu tak ubahnya sebuah sejarah. Siapa yang menulis itu poinnya.
            Itulah yang kita hadapi. Merekalah yang menulis sejarah. Kitalah korban sejarah. Korban dari kenangan-kenangan yang makin melayang dalam otak kita. Seolah kita telah dibentangkan sebuah garis merah yang harus terus ditapak, dengan segala arahan leluhur kita. Melalui almana-almanak yang entah dapat diyakini atau tidak. Tapi begitulah kita disetir secara tidak langsung.
            Akhirnya kita selalu ketergantungan akan masa lalu. Kita lupa harus membuat jalur sendiri. Bahkan kita lupa harus menghadapi badai yang ada. Dan memperkuat kita dengan perkataan “bukankah kita sudah dijalan”. Dan saling mengatakan kepada diri kita “kita telah dalam garis yang lurus” meskipun itu hal yang buruk untuk kita.
            Tampaknya kita harus berubah. Tanpa siapapun dan tanpa apapun senjata yang ada di genggaman. Kita berbeda dengan kisah-kisah pahlawan super seperti Iron Man dan kawan-kawanya. Kita adalah rombongan dalam film China klasikal. Kita butuh benteng dan butuh pasukan berkuda. Berdiri dalam satu komando dan membuat perubahan itu yang terpenting. Menggaris bahwahi:  Kita hidup di zaman sekarang, dan akan hidup pada masa yang akan datang tapi jangan lupakan kita juga butuh belajar dari kenangan. Agar kita tidak terperosok lagi. Bukankah itu proses.
            Karena ingat proses itu soal menghadapi waktu yang lama. Kita tidak bisa instans seperti pahlawan super seperti Marvel produksi. Bukankah yang instans akan membuat hal yang merugikan. Seperti Iron Man ia pahlawan, tapi lihat dampaknya, mereka telah membuat kerusakan pada kota-kota mereka sendiri. Padahal itu bentuk warisan peradaban untuk masa depan anak cucu.

Selamat berproses. kawan      

  

afifi

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard. Google

0 komentar: