Buku nan gelisah

19.19 0 Comments





Saya sedang membaca Pergolakan Pemikiran Islam, catatan Ahmad Wahib (29/9). Memang sangat terlambat untuk membacanya. Melihat usia, dan apalagi jika dibandingkan dengan teman-teman saya  yang sudah terlebih dulu membacanya. Inilah yang menunjukkan betapa tertinggalnya saya.
Saya sudah mendengarnya, tapi baru sekarang saya berkeinginan membacannya. Dan bertapa malunya, ada kegelisahan yang timbul dalam diri saya. Memunculkan pelbagai pertanyaan tentang agama, budaya dan persinggungan hari ini.

Saya tidak pernah menjadi pembaca yang baik, apalagi jika menuliskan secara tepat. Saya hanya bisa melihat permukaan dari buku ini. Jika ingin melihat kelebihan buku ini, saya rasa tulisan ini tidak akan memberikan apapun. Namun entah, saya hanya memikirkan satu hal saja tanpa mempertimbangkan resiko: saya ingin menulis apa yang saya baca dan menulis apa yang telah mengganggu tidur saya saja. Kegeelisahan adalah topiknya.

Saya tidak mengerti benar bagaimana kegelisahan itu muncul dalam diri saya setelah membaca sekilas buku ini. Namun perlu di garis bawahi, bahwa buku ini juga muncul dari kegelisahan seorang pemuda juga. Ahmad Wahib menulisnya untuk dirinya sendiri; asumsi ini saya landaskan karena buku ini adalah buku harian. Seperti yang di lakukan oleh Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran. Tentu yang dipenuhi pertanyaan oleh si empunya, tentang ketidak puasan terhadap sekitar.

Banyak hal yang disinggung. Agama tentu menjadi barang utama disana. Karena judulnya telah membuktikannya. Banyak pertanyaan tentang Islam. Sengaja memang, saya sedang jauh dari Tuhan saya. Saya ingin mencarinya dalam segala lini. Termasuk bacaan saya. 

Apa yang saya lakukan semacam: saya jarang sholat. Menjadi salah satu pendorong saya membaca tulisan ini. Dan saya menemukan jawabannya. Wahib menasehati saya secara tidak langsung lewat ia menasehati dirinya sendiri: “Tuhan, aku menghadap padamu bukan hanya di saat aku cinta padamu, tapi disaat aku tidak cinta dan tidak mengerti tentang dirimu, di saat-saat aku seolah-olah memberontak terhadap kekuasaanmu. Dengan demikian, Rabbi, aku mengharap cintaku padamu akan pulih kembali. Aku tidak bisa menunggu cinta untuk sebuah sholat.”

Namun buku ini sangat luas. Tidak hanya menyatakan semacam keluhan pribadi. Banyak kritik yang terasa masih relevan untuk sekarang. Ia berbicara tentang teologi: tuhan, Wahyu dan lain sebagainya. Dan lainnya banyak juga kegelisahan tentang politik dan kebudayaan saat itu.

Entah kenapa saya terasa terisi kembali. Mungkin karena jarang membaca buku semacam ini, yang memenuhi otak saya saat ini adalah karya sastra. Sehingga buku semacam ini menjadi gairah menggali diri sendiri lagi. Membuka pandangan saya. Dan terus menyusun pertanyaan. 

Pertanyaan inilah yang sebenarnya menjadi tumpuhan dalam tubuh buku ini. “Saya ingin menjadi muslim yang baik dengan selalu bertanya” bolelah kita ambil jargon itu. Namun pertanyaannya sekarang adalah bagaimana saya memulai dan membangkitkan pertanyaan yang ada dalam diri saya?
Beberapa hari yang lalu saya membaca bahwa pembaca yang baik adalah pembaca yang memiliki roh anak kecil di dalam tubuhnnya yakni rasa keingintahuan. Dan saya selalu berdoa semacam itu. Menjadi pembaca yang baik. Namun entah, semua adalah proses. Lalu apa yang saya tulis semoga membangkitkan roh itu untuk menghabiskan catatan pribadi dari Ahmad Wahib yang saya tekuni ini. 

Karena memang sepantasnya jika buku ini saya bolak-balik. Karena ini adalah hidangan untuk kegelisahan saya dan dari orang yang gelisah pula. Semoga tak lekas sembuh apa yang saya gelisahkan ini. Selamat membaca.  


Ilustrasi: internet

afifi

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard. Google

0 komentar: