Kenapa tidak Berbicara Beradabnya yang Lain?
Hari ini Rabu (23/9)
organisasi yang saya tempati sedang melangsungkan perbincangan ringan soal
pendidikan di Sekre. Dengan pemateri dari kalangan sendiri namun dengan usia
yang lebih matang. Dalam perbincangan itu banyak hal yang saya dapatkan. Namun yang
menarik gairah saya untuk menulis hari ini adalah pernyataan yang kurang lebihnya
kampus adalah tempat beradab dan di luar
adalah tidak.
Dalam pernyataan
tersebut saya menangkap bahwa kehidupan kernet, sopir yang sebagai contoh hari
itu, seolah tak bermoral. Hanya lingkup kampuslah yang bermoral dan beradab. Apakah
benar sebatas demikiankah bermoral atau tidaknya seseorang? Kenapa harus
disadingkan dalam lingkungan pendidikan?
Dalam pandangan
saya, apakah benar kampus dan lembaga pendidikan adalah tempat paling bermoral
selama ini? Tempat yang memberikan budi pekerti dan lain sebagainnya. Bagaimana
dengan kehidupan di luar? Apakah orang-orang yang berteriak saat mencari
penumpang merupakan orang yang tidak bermoral atau bagaimana?
Semua terasa
menjadi pertanyaan saja yang terus mengabang. Apakah ini semua karena saya
kurang dewasa dalam menyikapi hal tersebut, seperti yang di katakan oleh
pembicara. Bahwa masyarakat kita kurang dewasa. Mungkin iya, karena saya juga
bagian dari masyarakat.
Dalam asumsi
saya, bermoral komunitas tertentu seharusnya
tidak di benturkan dengan komunitas yang berbeda. Seperti hanya Suku A tidak
mungkin ketidak biadabannya itu di nilai dengan aturan Suku B. Karena kita
adalah negara majemuk yang mempunyai keberagaman itu semua. Bermoral dan
beradap seharusnya mempunyai banyak pembacaan. Mulai dari budaya, sosial dan
lain sebagainya.
Selama ini yang
saya tangkap dari kawan-kawan saya adalah “saya orang kasar, yang suka
berteriak”. Sedangkan kawan-kawan saya adalah bukan dari daerah saya. Apakah saya
tidak beradab karena saya hanya di benturkan dengan satu ruang atau satu tempat
saja yang telah membentuk mereka? Bagaimana dengan ruang yang membentuk saya?
Semua terasa
gamang saja. Dan pendidikan kita tidak pernah membicarakan itu. Tidak pernah
menceritakan bahwa ada tingkah laku atau norma serta nilai yang berbeda di
masing-masing daerah dalam negara kita. Dalam diskusi bersama beberapa penulis
di Jogja yang berkesan, seorang guru dari sekolah rimba “berteriak” di hadapan
kami semua yang hadir hari itu. Ia mengatakan kurang lebihnya kenapa kita
selalu menganggap bahwa orang Rimba yang tidak berbajuju adalah orang primitif,
Bodoh dan tak bermoral? Namun apakah pernah kita belajar dari mereka bagaimana
cara mereka menjaga sungai, tidak mengotori sungai, tidak menyakiti sesama dan
lain sebagainya.
Selama ini
pendidikan yang saya dapatkan belum pernah menyinggung masalah itu. Kenapa pendidikan
kita selalu mempermasalahkan kalau kita tidak memakai sepatu, baju keluar,
tidak rapi adalah sebuah adab yang buruk. Kenapa ketika bilang “cok” dan lain sebagainya
sebagai keakrapan dibilang tidak beradab?
Bukankah
pendidikan adalah pendewasaan. Dalam artian membuka cakrawala berpikir kita. Memperluas
jagat berpikir tanpa menaruh tedeng
aleng-aleng. Serta sesuatu yang paling mendasar yakni menerima semua
perbedaan. Namun kenyataan dalam diskusi yang berjalan terasa begitu tidak
imbang. Pembicara seolah melepas kedewasaan dengan menghakimi bahwa di luar
zona atau ruang tertentu (baca: lembaga pendidikan) adalah sesuatu yang tidak
beradab.
Inilah kerancauan
pendidikan kita. Seolah saya ingin mengamini apa yang di katakan oleh Henry C.
Link Psikolog yang berpendapat bahwa
perpanjangan pendidikan formal mengakibatkan kemunduran pada kepribadian kita.
Tentu dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah pendidikan formal hanya
memberikan materi tanpa membuat mereka turun ke lingkungan masyarakat. Ini kita
buktikan dengan hal kecil saja, lihat bagaimana sekolah seolah menjadi
kerangkeng yang luar biasa. Memberikan sekat kita terhadapa masayarakat
sekitar. Sehingga tidak salah jika kemunduran kepribadian itu terjadi. Karena seseorang
hanya menerima apa yang ada dalam kerangkeng itu tanpa mendengar apa yang ada
di sekitarnya.Bukankah semua adalah wahana bejar.
Saya rasa ada
yang salah dengan sistem pendidikan kita. formula menuju pendidikan yang
membebaskan benar-benar belum ada di Indonesia. Jika masih menjalankan bahwa
pendidikan harus dalam ruang kelas, masih dalam kerangkeng yang kita sebut pagar
sekolahan dan menihilkan masyarakat sekitar; kernet, sopir dll sebagai
komunitas yang lain. Tentu generasi kita tidak akan membuka cakra berpikir.
***
Apa yang di katakan
pembicara hari itu (mas Rouf) adalah sesuatu yang tidak adil. Tidak memberi
pandangan tentang adab lain yang ada di luar lingkungan kampus. Karena beda
zaman juga beda cara, begitu juga beda tempat dan komunitas. Sehingga tidak
boleh seenaknya aturan komunitas satu digunakan atau mematok apalagi menghakimi
komunitas yang lain itu salah.
Ilustrasi: Dari Internet
0 komentar: