Syndrom Sepatu Coklat
“ada ular-ular
yang menghuni sepatu mereka”
Ketakutan itu
kini masih terus di pelihara. Dalam dada, tangan, wajah hingga telinga mereka.
Banyak kisah yang harus tersebar. Seperti surat kabar menuliskannya Syndrome Sepatu Coklat dalam berita
terbaru mereka hari ini.
“Mereka akan
bangkit kembali, menjelajah di bumi kita, meremukkan tulang-tulang kita dan
membuat kita tidak bisa mengunyah makanan” cerita itu begitu meyakinkan. Tukang
jamu itu menjualnya bersama salap gatel, minyak yang mempunyai bau minta ampun
dan segala obat lainnya. Tukang jamu itu terus menyebarkan teror itu. Dari
lisannya. Menjadi cerita yang begitu menyeramkan dan menjadi sesuatu yang
bising. Ada apa dengan negri ini?
Dalam sekejap
cerita itu memenuhi segala sudut
lapangan itu, memenuhi obrolan saat perjamuan makan malam, datang saat musim
ronda datang. Di teriakkan di mimbar-mimbar oleh para pemuka agama. Ada apa
dengan negri ini? Begitu bising.
“ular-ular itu di
pelihara dengan bau kaki dan kekerasan kaki disana. Menjadi sesuatu yang gaib
di ceritakan dan akan terus gaib di ceritakan” tukang jamu itu mengulangi
ceritanya. Memperdengarkan dari sudut ke sudut kompleks. Dari tempat pembuangan
sampah hingga perumahan elit. “ular-ular itu licik, seperti cerita manusia
pertama kita yang di hasut oleh seekor ular” katanya. Tapi ia juga menyela
ceritanya dengan menawarkan dagangannya “tapi kami punya obat penghilang cemas
dan kegelisahan kalian”
Tak ada ada yang
tahu tentang kebenaran cerita itu, tak ada yang mengerti. Namun anak-anak takut
tertidur, takut membayangkan cerita itu, takut masuk dalam mimpi mereka. Ada
yang ketakutan memakai sepatu coklat.
“Ialah sepatu
yang menjaga setiap gerbang tapal batas. Tempat terpisahnya kisah cinta Si Amir
dan kekasihnya dalam angka ke-99. Tempat terpisahnya angin benua. Tempat
terpisahnya semua segala peristiwa” tukang jamu itu makin lancar saja. Mungkin
ia telah mengulanginya beberapa kali di segala tempat dengan cerita yang sama.
“mereka akan
membunuh dari kalian, memperkosa anak kalian, merampas kalian” tukang jamu-
tukang jamu- tukang jamu itu terus meneriakki setiap perumahan. Seolah membawa
lampu yang begitu terang kehadapan rumah-rumah kota itu.
Malam gelap dan
segala akan menjadi sebuah aroma yang diam-diam datang. Terenduslah darah-darah
yang segar. Pada dinding juga pada semua perabot. Terutama pada sepatu-sepatu
orang disana. Dan tiba-tiba negri itu tercekam ketakutan. Dan tukang obat
menjadi penjual yang paling kaya raya.
“ada ular-ular di
kaki-kaki kita, pada sepatu kita” katanya. Sebuah berita mengutarakan hal yang
sama. Tak ada bedanya media hari ini dengan tukang jamu. Dan mereka menjadi
penjual terkaya. Dan ada apa dengan negri ini? Semua tiba-tiba terancam
ketakutan. Semua merasa ketakutan. Semua orang merasa ada yang lain di setiap
sepatunya.
“apakah ada ular?”
begitu juga pertanyaanku pagi ini.
Pukul 00.00 semua
melaju begitu cepat. Dalam sebuah bus dengan penumpang yang lengang. Semua tahu
jalur ini satu laju. Tentu tidak ada persimpangan mobil satu dengan yang lain,
semua serasa mendahului. Kehidupan yang saling mempercepat keadaan, tentu
memperburuknya.
Aku hanya ingin
jauh dari rumah, orang-orang yang aku kenal dan menghindari teror itu. Sepatu coklat.
Etah kenapa begitu lekat betul, begitu ....di ingatan. Mungkin hanya aku yang
mempunyai pertanyaan itu dalam kisah ini. bus asih lengang. Mungkin hanya satu
dua penumpang yang naik. Dan selebihnya hanya menunggu turun. Tak ada
percakapan di antara kami.
Aku duduk di
deret bangku berisi dua orang pada barisan ke dua dari belakang. Ini membuatku
bisa melihat semua penumpang yang ada kecuali di belakangku. Dan tidak mungkin
juga, aku tiba-tiba menoleh kebelakang untuk memastikannya.
Otw antrabrata. Kataku dalam setatus. Sengaja aku membuatnya. Membikin
kepo semua orang. Aku hanya ingin ada
penculikan dan melupakan sydrome yang menghantui kotaku. Ada apa dengan negri ini? suara yang sayup terdengar dari radio
bersama mesin yang geseng. Bus ini di
lengkapi dengan radio. Suaranya begitu dominan di antara penumpang. Karena kami
tidak ada berbicara, atau keinginan untuk memulai pembicaraan. Semua tampak
ragu dan tak mengasyikan.
Aku tak bisa
lelap. Ini perjalanan yang panjang dan tak ada yang membuatku ngantuk. Hanya sepatu
coklat yang masih menguntit di otakku, mataku dan lenganku. Mungkin juga
ponselku. Dan ngomong-ngomong soal ponsel, tampaknya ada pesan. Benar ada suara
protes otw mulu, kemana lho jangan
ngilang terus, kita juga butuh kamu ndul, siapa yang akan niup lilin ulang
tahun, tahun ini.
Malas rasanya
membalas. Tapi lihat semua akan baik-baik saja. Aku masih di bus dan aku punya
alibi besar saat menjawab protes mereka. Aku
ada urusan keluarga. Itu saja cukup. Dan mereka akan maklum.
Bus semakin jauh
melaju, dan aku belum bisa memutuskan untuk berhenti dimana. Dan kondektur
sudah datang padaku ke tiga kalinya dengan ucapan yang serupa “sudah memastikan
turun dimana?” katanya. Lihat tak ada yang menarik perhatianku dengan ucapan kau harus di sini. Jadi semua boleh
melaju kamanapun. Hidup yang rumit. Dan makin rumit saja.
Dan semau
tiba-tiba terasa nyaman. Tampak gelap. Kota-kota tampak binti-bintik cahaya
redup. Dan lorong ini tampak putih pucat ketika terkena cahaya mobil. Aku sedang
nyaman.
Aku, kawanku.
Telah terjangkit sydrom ini. Syndrom Sepatu Coklat. Akhirnya. Ia juga
menyusulku dengan membuatkan kisah panjang bahwa ia telah pergi keluar angkasa meninggalkan si Amir yang sedang menunggunya
di balkon sebuah kopi. Ia sudah nyaman juga.
0 komentar: