Syndrom Sepatu Coklat

11.31 0 Comments




“ada ular-ular yang menghuni sepatu mereka”

Ketakutan itu kini masih terus di pelihara. Dalam dada, tangan, wajah hingga telinga mereka. Banyak kisah yang harus tersebar. Seperti surat kabar menuliskannya Syndrome Sepatu Coklat dalam berita terbaru mereka hari ini.

“Mereka akan bangkit kembali, menjelajah di bumi kita, meremukkan tulang-tulang kita dan membuat kita tidak bisa mengunyah makanan” cerita itu begitu meyakinkan. Tukang jamu itu menjualnya bersama salap gatel, minyak yang mempunyai bau minta ampun dan segala obat lainnya. Tukang jamu itu terus menyebarkan teror itu. Dari lisannya. Menjadi cerita yang begitu menyeramkan dan menjadi sesuatu yang bising. Ada apa dengan negri ini?

Dalam sekejap cerita itu  memenuhi segala sudut lapangan itu, memenuhi obrolan saat perjamuan makan malam, datang saat musim ronda datang. Di teriakkan di mimbar-mimbar oleh para pemuka agama. Ada apa dengan negri ini? Begitu bising.

“ular-ular itu di pelihara dengan bau kaki dan kekerasan kaki disana. Menjadi sesuatu yang gaib di ceritakan dan akan terus gaib di ceritakan” tukang jamu itu mengulangi ceritanya. Memperdengarkan dari sudut ke sudut kompleks. Dari tempat pembuangan sampah hingga perumahan elit. “ular-ular itu licik, seperti cerita manusia pertama kita yang di hasut oleh seekor ular” katanya. Tapi ia juga menyela ceritanya dengan menawarkan dagangannya “tapi kami punya obat penghilang cemas dan kegelisahan kalian”

Tak ada ada yang tahu tentang kebenaran cerita itu, tak ada yang mengerti. Namun anak-anak takut tertidur, takut membayangkan cerita itu, takut masuk dalam mimpi mereka. Ada yang ketakutan memakai sepatu coklat. 

“Ialah sepatu yang menjaga setiap gerbang tapal batas. Tempat terpisahnya kisah cinta Si Amir dan kekasihnya dalam angka ke-99. Tempat terpisahnya angin benua. Tempat terpisahnya semua segala peristiwa” tukang jamu itu makin lancar saja. Mungkin ia telah mengulanginya beberapa kali di segala tempat dengan cerita yang sama. 

“mereka akan membunuh dari kalian, memperkosa anak kalian, merampas kalian” tukang jamu- tukang jamu- tukang jamu itu terus meneriakki setiap perumahan. Seolah membawa lampu yang begitu terang kehadapan rumah-rumah kota itu. 

Malam gelap dan segala akan menjadi sebuah aroma yang diam-diam datang. Terenduslah darah-darah yang segar. Pada dinding juga pada semua perabot. Terutama pada sepatu-sepatu orang disana. Dan tiba-tiba negri itu tercekam ketakutan. Dan tukang obat menjadi penjual yang paling kaya raya.
“ada ular-ular di kaki-kaki kita, pada sepatu kita” katanya. Sebuah berita mengutarakan hal yang sama. Tak ada bedanya media hari ini dengan tukang jamu. Dan mereka menjadi penjual terkaya. Dan ada apa dengan negri ini? Semua tiba-tiba terancam ketakutan. Semua merasa ketakutan. Semua orang merasa ada yang lain di setiap sepatunya.

“apakah ada ular?” begitu juga pertanyaanku pagi ini.

Pukul 00.00 semua melaju begitu cepat. Dalam sebuah bus dengan penumpang yang lengang. Semua tahu jalur ini satu laju. Tentu tidak ada persimpangan mobil satu dengan yang lain, semua serasa mendahului. Kehidupan yang saling mempercepat keadaan, tentu memperburuknya.

Aku hanya ingin jauh dari rumah, orang-orang yang aku kenal dan menghindari teror itu. Sepatu coklat. Etah kenapa begitu lekat betul, begitu ....di ingatan. Mungkin hanya aku yang mempunyai pertanyaan itu dalam kisah ini. bus asih lengang. Mungkin hanya satu dua penumpang yang naik. Dan selebihnya hanya menunggu turun. Tak ada percakapan di antara kami.
Aku duduk di deret bangku berisi dua orang pada barisan ke dua dari belakang. Ini membuatku bisa melihat semua penumpang yang ada kecuali di belakangku. Dan tidak mungkin juga, aku tiba-tiba menoleh kebelakang untuk memastikannya. 

Otw antrabrata. Kataku dalam setatus. Sengaja aku membuatnya. Membikin kepo semua orang. Aku hanya ingin ada penculikan dan melupakan sydrome yang menghantui kotaku. Ada apa dengan negri ini? suara yang sayup terdengar dari radio bersama mesin yang geseng. Bus ini di lengkapi dengan radio. Suaranya begitu dominan di antara penumpang. Karena kami tidak ada berbicara, atau keinginan untuk memulai pembicaraan. Semua tampak ragu dan tak mengasyikan.

Aku tak bisa lelap. Ini perjalanan yang panjang dan tak ada yang membuatku ngantuk. Hanya sepatu coklat yang masih menguntit di otakku, mataku dan lenganku. Mungkin juga ponselku. Dan ngomong-ngomong soal ponsel, tampaknya ada pesan. Benar ada suara protes otw mulu, kemana lho jangan ngilang terus, kita juga butuh kamu ndul, siapa yang akan niup lilin ulang tahun, tahun ini.
Malas rasanya membalas. Tapi lihat semua akan baik-baik saja. Aku masih di bus dan aku punya alibi besar saat menjawab protes mereka. Aku ada urusan keluarga. Itu saja cukup. Dan mereka akan maklum. 

Bus semakin jauh melaju, dan aku belum bisa memutuskan untuk berhenti dimana. Dan kondektur sudah datang padaku ke tiga kalinya dengan ucapan yang serupa “sudah memastikan turun dimana?” katanya. Lihat tak ada yang menarik perhatianku dengan ucapan kau harus di sini. Jadi semua boleh melaju kamanapun. Hidup yang rumit. Dan makin rumit saja. 

Dan semau tiba-tiba terasa nyaman. Tampak gelap. Kota-kota tampak binti-bintik cahaya redup. Dan lorong ini tampak putih pucat ketika terkena cahaya mobil. Aku sedang nyaman.

Aku, kawanku. Telah terjangkit sydrom ini. Syndrom Sepatu Coklat. Akhirnya. Ia juga menyusulku dengan membuatkan kisah panjang bahwa ia telah pergi keluar angkasa meninggalkan si Amir yang sedang menunggunya di balkon sebuah kopi. Ia sudah nyaman juga.

afifi

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard. Google

0 komentar: