Sesuatu Yang Bajingan

19.05 , 0 Comments





"Rindu tak pernah sebajingan ini, sebelum mengenal Kau"
 
Aku harus mengeluarkan kebajinganku. Ingin menjadi hewan paling banal, paling tangguh juga paling rindu kamu. Tapi juga paling membenci kamu.

Apa yang aku lakukan sekarang hanya ingin mengeluarkan kebajinganku. Melupakan bunyi-bunyi ponsel. Menolak suaramu. Tapi juga merindukannya. Lalu jika kau bertanya aku sering berpindah tempat ngobrol? Hanya terjawab, aku ingin tempat yang berbeda dan mencoba mencari sesuatu yang baru demi melupakan satu hal. Tetap saja itu gagal.

Ini seolah hanya kotak bertulis nomer lima. Mungkin hanya semalam. Dan besok bisa jadi aku pindah meja. Dapat bertulis angka satu, dua atau angka yang mempunyai kelipatan yang tak terduga. Namun tetap saja kau tak bisa lekang.

Kisah dengan senja mengawali semuanya. Matahari turun dan kau beranjak mendekatiku. Pantai pasir putih, laut tampak tak berujung disana. Matamu merah, rambutmu merah, pipimu memerah. Seandainya kau dapat melihat apa yang aku lihat saja kau akan berteriak “apa kau selalu akan menanyakan hal yang sama? Kalau aku meragukanmu?” 

Kisah-kisah selalu dimulai dengan perihal yang tak pasti. Terawali dengan hal-hal baik dan diakhiri dengan hal-hal buruk atau sebaliknya. Atau sesuatu berjalan abnormal atau normal. Aku berjalan bersamamu, makan juga masih bersama, tiba-tiba tak ada kabar untuk beberapa waktu. Ada nada bib yang lepas dari ponsel ini. Aku tahu itu sebuah kehilangan. Itulah suaramu.

Kepercayaanku semua akan baik-baik saja. Aku hidup sebagaimana hidup lantas engkau sebagaimana engkau hidup. Akan tampak mudah. Begitulah keyakinanku. Kau perempuan yang kuat, keras kepala dan sering menerima perdebatan diantara lelaki semacam kami ini. Entah bagaimana? Semua perihal angka. 

Angka membikin jarak: seorang kekaksih membentangkan lengannya dalam jarak 100 mil. Angka mencipta berat badanmu: tuh kan aku gemukan, kemarin baru saja turun 45 sekarang naik lagi 46, tuh kan. Angka menuangkan rasa kangen: Nanti kamu harus menelponku, aku kangen, tepat pukul 7. Dan aku menaruh namamu dalam angka: aku memasang namamu dalam ketinggian 3201 MDPL.
Apa yang sudah berjalan tampak biasa tapi juga taksa. Dan nada itu terdengar kembali. Nada bib dengan ikut serta suaramu yang berat mengakhiri semuanya. “ini tak akan berakhir”.

Ketika semua terjadi, peristiwa banyak yang menyerangku. Kereta dengan bunyi yang sangat pilu. Menembus kabut. Ada wanita merah berdiri di sebrang tempatku saat itu. Aku bermimpi. Tapi tampak sebuah rentetan peristiwa yang ganjil. Seperti angka meja yang dulu kita gunaka bercerita soal masing-masing diri.
***
 Semua perihal angka. Angka yang melingkar di jarimu, sebagai cincin. Aku yang memasangnya. Dengan rekah yang teramat, kau selalu berkata “kau selalu membunuhku dan aku menantikan tanggal itu ada”. Hanya saja aku masih gamang. Mimpi itu membosankan sayang ucapku dengan segala keterbatasan.

“esok aku akan pergi, perahu yang aku buat dengan tanganku sudah mulai memanjang, air hujan telah menyuburkan mereka, saling membuatnya terus membesar. Ada tiang bendera yang kian kokoh dan besar. Cukup untuk pengawas ikan dua atau tiga orang. Cukup. Ia punya tangga yang cukup nyaman buat kakiku. Agar aku tetap aman dalam ketinggian angka tertentu. Aku senantiasa membayangkan aku berteriak disana. HOIIII. Saat kapal kami mendekati mercusuar tertentu. Aku berharap itu daratan yang menampung kau beserta keluargamu. Anak-anakmu. Ibu serta ayahmu. Maaf aku belum sempat menemui mereka. Tiba-tiba semua terasa begitu saja. Aku harus pergi meninggalkan apa yang harus aku lakukan segera. Tapi kacau setelah gelombang itu datang. Dan kau tau janji para pelaut yang ada di kapalku? Itulah pertanda tuna-tuna akan berputar di kaki kapal kami. Dan tiba-tiba semua harus pergi.  Tapi pada musim selanjutnya. Aku akan bicara pada kapten. Aku harus kembali kehadapanmu. Menyerahkan diri untukmu seutuhnya. Aku pelaut, tak akan pernah mengingkari apa yang aku katakan. Karena begitulah maut akan bermula. Dari sebuah dusta”

 Parman membawanya. Surat ditulis dengan tulisan tangan yang agak kacau. Mungkin saja kau menghadapi gejolak yang ada pada dadamu sendiri. Semua bertengkar hebat di hatimu. Kau ingin menetap, tapi kau bukan orang yang suka dusta. 

Masih ku ingat bagaimana kau bercerita soal parasku yang manis. Saat matahari melata dan mulai menabur warna merah. “Matamu memerah, wajahmu memerah, rambutmu memerah…..” aku tak mengingat lagi, bagian tubuhku manalagi yang kau katakan memerah. Namun yang melekat betul wajahmu berhadap-hadapan dengan arah datangnya gelombang. Tiba-tiba wajahmu berubah. Tak semanis tadi. “Kau kangen kampunngmu?” ucapku. Kau tak memberikan isyarat apapun, kau kembali memandangku. Seolah ingin memastikan baik-baik saja.

Lantas. Kau berkata padaku mau minum kopi? Aku ingin menolaknya, dengan alasan aku tak meminum kopi. Tapi entah selalu ada hal bodoh dalam percintaan bukan. Tiba-tiba aku mengangguk. Berjalan kaki ke sebuah kedai tak terhindarkan. “Aku memilih meja nomor lima saja” katamu dengan rasa gigil. 

Apa yang membuatmu merasa takut? Apa yang membuatmu merasa gigil? Jangan-jangan tentang angka? Bagaimana? Angka lima atau angka dengan nuansa ganjil. Seandainya iya. Aku mempunyai kisah pilu yang sama. Kisah perjanjian sama. Dimulai dari angka meja ini. Angka kelipatan ganjil. Kisah 

Cerita dalam batinku belum usai. Kau sudah nyelonong saja. Membawa secangkir kopi dan sial kau. Hanya aku yang minum. Dan kau bilang “aku tidak meminum kopi”. Kenapa aku tidak menolakmu saja. Dasar payah.  

Selalu ada hal yang tidak masuk akal dalam hal jatuh cinta. Tapi semua berjalan normal saja. Sebelum angin membawa gelombang. Kau bilang musim tuna telah datang. Tentu saja kau khawatir. Kau akan pergi. Melihat dan menuju laut yang kau anggap tak berujung. Semua akan jelas. Kau akan tetap pergi. 

Kau melihat kapalmu yang gagah. Dan tentu kau meninggalkan janji untukku.
“aku akan menunggumu dan melihat kau menemui anak-anakku”
***
“Seperti ikan tuna yang terus aku dapatkan. Aku terus mengeratkan tanganku agar tidak pernah lepas”
“dari siapa kau belajar menjadi bokis?”
“kehidupan, laut dan tuna”

afifi

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard. Google

0 komentar: