Sesuatu Yang Bajingan
"Rindu tak pernah sebajingan ini, sebelum mengenal Kau"
Aku harus
mengeluarkan kebajinganku. Ingin menjadi hewan paling banal, paling tangguh
juga paling rindu kamu. Tapi juga paling membenci kamu.
Apa yang
aku lakukan sekarang hanya ingin mengeluarkan kebajinganku. Melupakan
bunyi-bunyi ponsel. Menolak suaramu. Tapi juga merindukannya. Lalu jika kau
bertanya aku sering berpindah tempat ngobrol? Hanya terjawab, aku ingin tempat
yang berbeda dan mencoba mencari sesuatu yang baru demi melupakan satu hal.
Tetap saja itu gagal.
Ini seolah
hanya kotak bertulis nomer lima. Mungkin hanya semalam. Dan besok bisa jadi aku
pindah meja. Dapat bertulis angka satu, dua atau angka yang mempunyai kelipatan
yang tak terduga. Namun tetap saja kau tak bisa lekang.
Kisah
dengan senja mengawali semuanya. Matahari turun dan kau beranjak mendekatiku.
Pantai pasir putih, laut tampak tak berujung disana. Matamu merah, rambutmu
merah, pipimu memerah. Seandainya kau dapat melihat apa yang aku lihat saja kau
akan berteriak “apa kau selalu akan menanyakan hal yang sama? Kalau aku meragukanmu?”
Kisah-kisah
selalu dimulai dengan perihal yang tak pasti. Terawali dengan hal-hal baik dan
diakhiri dengan hal-hal buruk atau sebaliknya. Atau sesuatu berjalan abnormal
atau normal. Aku berjalan bersamamu, makan juga masih bersama, tiba-tiba tak ada
kabar untuk beberapa waktu. Ada nada bib
yang lepas dari ponsel ini. Aku tahu itu sebuah kehilangan. Itulah suaramu.
Kepercayaanku
semua akan baik-baik saja. Aku hidup sebagaimana hidup lantas engkau
sebagaimana engkau hidup. Akan tampak mudah. Begitulah keyakinanku. Kau
perempuan yang kuat, keras kepala dan sering menerima perdebatan diantara
lelaki semacam kami ini. Entah bagaimana? Semua perihal angka.
Angka
membikin jarak: seorang kekaksih
membentangkan lengannya dalam jarak 100 mil. Angka mencipta berat badanmu: tuh kan aku gemukan, kemarin baru saja turun
45 sekarang naik lagi 46, tuh kan. Angka menuangkan rasa kangen: Nanti kamu harus menelponku, aku kangen,
tepat pukul 7. Dan aku menaruh namamu dalam angka: aku memasang namamu dalam ketinggian 3201 MDPL.
Apa yang
sudah berjalan tampak biasa tapi juga taksa. Dan nada itu terdengar kembali.
Nada bib dengan ikut serta
suaramu yang berat mengakhiri semuanya. “ini tak akan berakhir”.
Ketika semua terjadi, peristiwa banyak yang menyerangku.
Kereta dengan bunyi yang sangat pilu. Menembus kabut. Ada wanita merah berdiri
di sebrang tempatku saat itu. Aku bermimpi. Tapi tampak sebuah rentetan
peristiwa yang ganjil. Seperti angka meja yang dulu kita gunaka bercerita soal
masing-masing diri.
***
Semua perihal angka. Angka yang melingkar di jarimu, sebagai cincin. Aku yang
memasangnya. Dengan rekah yang teramat, kau selalu berkata “kau selalu membunuhku
dan aku menantikan tanggal itu ada”. Hanya saja aku masih gamang. Mimpi itu
membosankan sayang ucapku dengan
segala keterbatasan.
“esok aku
akan pergi, perahu yang aku buat dengan tanganku sudah mulai memanjang, air
hujan telah menyuburkan mereka, saling membuatnya terus membesar. Ada tiang
bendera yang kian kokoh dan besar. Cukup untuk pengawas ikan dua atau tiga
orang. Cukup. Ia punya tangga yang cukup nyaman buat kakiku. Agar aku tetap
aman dalam ketinggian angka tertentu. Aku senantiasa membayangkan aku berteriak
disana. HOIIII. Saat kapal kami
mendekati mercusuar tertentu. Aku berharap itu daratan yang menampung kau
beserta keluargamu. Anak-anakmu. Ibu serta ayahmu. Maaf aku belum sempat
menemui mereka. Tiba-tiba semua terasa begitu saja. Aku harus pergi
meninggalkan apa yang harus aku lakukan segera. Tapi kacau setelah gelombang
itu datang. Dan kau tau janji para pelaut yang ada di kapalku? Itulah pertanda
tuna-tuna akan berputar di kaki kapal kami. Dan tiba-tiba semua harus
pergi. Tapi pada musim selanjutnya. Aku
akan bicara pada kapten. Aku harus kembali kehadapanmu. Menyerahkan diri
untukmu seutuhnya. Aku pelaut, tak akan pernah mengingkari apa yang aku
katakan. Karena begitulah maut akan bermula. Dari sebuah dusta”
Parman
membawanya. Surat ditulis dengan tulisan tangan yang agak kacau. Mungkin saja
kau menghadapi gejolak yang ada pada dadamu sendiri. Semua bertengkar hebat di
hatimu. Kau ingin menetap, tapi kau bukan orang yang suka dusta.
Masih ku
ingat bagaimana kau bercerita soal parasku yang manis. Saat matahari melata dan
mulai menabur warna merah. “Matamu memerah, wajahmu memerah, rambutmu memerah…..”
aku tak mengingat lagi, bagian tubuhku manalagi yang kau katakan memerah. Namun
yang melekat betul wajahmu berhadap-hadapan dengan arah datangnya gelombang.
Tiba-tiba wajahmu berubah. Tak semanis tadi. “Kau kangen kampunngmu?” ucapku.
Kau tak memberikan isyarat apapun, kau kembali memandangku. Seolah ingin
memastikan baik-baik saja.
Lantas. Kau
berkata padaku mau minum kopi? Aku
ingin menolaknya, dengan alasan aku tak meminum kopi. Tapi entah selalu ada hal
bodoh dalam percintaan bukan. Tiba-tiba aku mengangguk. Berjalan kaki ke sebuah
kedai tak terhindarkan. “Aku memilih meja nomor lima saja” katamu dengan rasa
gigil.
Apa yang membuatmu merasa takut? Apa yang
membuatmu merasa gigil? Jangan-jangan tentang angka? Bagaimana? Angka lima atau
angka dengan nuansa ganjil. Seandainya iya. Aku mempunyai kisah pilu yang sama.
Kisah perjanjian sama. Dimulai dari angka meja ini. Angka kelipatan ganjil.
Kisah
Cerita
dalam batinku belum usai. Kau sudah nyelonong saja. Membawa secangkir kopi dan
sial kau. Hanya aku yang minum. Dan kau bilang “aku tidak meminum kopi”. Kenapa
aku tidak menolakmu saja. Dasar payah.
Selalu ada
hal yang tidak masuk akal dalam hal jatuh cinta. Tapi semua berjalan normal
saja. Sebelum angin membawa gelombang. Kau bilang musim tuna telah datang.
Tentu saja kau khawatir. Kau akan pergi. Melihat dan menuju laut yang kau
anggap tak berujung. Semua akan jelas. Kau akan tetap pergi.
Kau melihat
kapalmu yang gagah. Dan tentu kau meninggalkan janji untukku.
“aku akan
menunggumu dan melihat kau menemui anak-anakku”
***
“Seperti ikan
tuna yang terus aku dapatkan. Aku terus mengeratkan tanganku agar tidak pernah
lepas”
“dari siapa kau
belajar menjadi bokis?”
“kehidupan, laut
dan tuna”
0 komentar: