Memastikan Sesuatu yang Luput
Semua berttato
namamu. Di sebuah piring masih tergeletak pistol bermoncong panas dan berbau
segar. Habis sudah. Kay kekasihku mati di pelukku hari ini. Ada apa sebenarnya?
Entah dan itu selalu yang kupertanyakan bukankah orang mencintai harus terus
menjaga. Tapi aku membunuh kekasihku saat makan malam.
***
Selalu ada
yang luput. Aku memakan roti di pagi hari. Ada remah yang luput tak termakan. Ketika
aku menyecap kopi. Selalu ada yang luput di bibir gelasku. Dan selalu memberi
garis bawah dengan tanda Tanya yang besar. “Ada apa?”
Aku cemburu?
Entah? Yang terpenting ada yang luput itu saja.
Malas dan
bangsat! Kisah aneh itu tak akan membawaku kemana-mana. Aku harus tetap tenang.
Kembali ku aduk kopiku. Ada apa? Terasa ada yang asing dalam kopiku. Sebagian yang
luputkah? Mengisi alam linglungku.
“Apa engkau
baik?” pertanyaan itu melingkar dalam otakku saat memasukkan serbuk kopi lagi. Entah
bagaimana? Yang terpenting sebuah kopi berusaha membawaku berpikir baik. Namun sesuatu
yang luput padaku menuding untuk berbuat buruk.
“Pagi” itu
suaramu
“Hanya butuh
tidur” kataku. Sambil mengusap mata.
“Kau masih
suka dengan bacaan-bacaan yang membuatmu tak waras?”
“Aku harus
tidur, pembahasan bacaan masih saja” aku menaruh kotak kecil yang bercahaya
merusak mata itu kembali. Lantas tidur. Mungkin engkau juga berteriak lama.
***
“Kapan kau pulang?” kataku
“Kapan kau
belajar membuka kalimat tanyamu?” kutukmu
“Oke, aku
rindu kamu dan kapan kau pulang?” ulangku
“Terdengar malas,
tapi cukup membuatku senang”
“Jawaban atas
pertanyaanku dimana?”
Tiba-tiba
ada nada bib. Semua berakhir pada
hari ini.
Aku mengaduk
kopi. Ada rasa baik. Jadi aku menduga-duga begitulah saat aku denganmu. Setelahnya
aku meminumnya, barang setenggak. Kau? Jangan-jangan kau sedang makan malam
dengan seseorang, temanmu yang lebih baik dariku. Semua terasa aneh. Semua. Gamang.
Bukankah aku telah berhenti minum kopi?
Selalu ada
yang luput.
Setelah kau
pulang. Juga setelah aku menembus rasa cemburuku. Kita baru punya waktu. Aku mengetik
tentang namamu, di sepanjang kotak kecil itu. mengulang huruf yang sama. Memintamu
bertemu. Aku tak punya kalimat bagus rasanya.
“Mau makan
dimana?”
“ikut”
kataku dengan malas.
“Dimana
selalu gak jelas”
“Yang penting
ada kopi”
“Kau sedang
cemas atau kepengen?”
“Aku ingin
bicara padamu”
Kopi terhidang.
Dan kau mengeluarkan pistol di piring. Semua tampak luput. Kau ganjil. Aku membrondong
dengan kalimat yang mencemaskan. Selalu begitu, selalu protes “apa kau
baik-baik saja?”
Dan kau
mati. Tak ada penghianatan. Aku hanya memastikan sesuatu yang luput.
***
Tiba-tiba terasa cepat. Terasa begitu jomplang. Terasa membabi buta. Aku
sepagi ini bangun dengan lolongan anjing. Di tempat yang asing. Dingin dan
beku.
Kepala pening.
Di ruangan penuh cahaya tajam. Aku duduk. Membelakangi segala bacaan. Tak ada
yang menarik rasanya. Tapi aku mengambil satu. Aku menghabiskannya. Mengawali dengan
rasa berat dan mengakhiri dengan “tulisan yang sulit”. Tapi tetap saja otakku
kosong.
Ada rasa
cemburu, ada rasa bersalah ada rasa khawatir.
Ruangan ini
penuh dengan orang asing. Mereka bersitatap dan berbicara dengan Bahasa jauh.
Aku tak
berada pada tempat sebisig ini. Ada suara pesawat. Ada suaru yang tiba-tiba
hilang. Begitulah ritmenya. Menjadi lingkaran yang tak bias terputus.
Anjing masih
menggonggong. Aku masih membelakangi segala bentuk bacaan. Aku sudah habis
satu. Tapi kenapa betap cemas, cemburu dan khawatir. Ada yang luput. Semua dicatat
di otakku tanpa di ajak kompromi.
Kenapa mua
terasa tiba-tiba. Pagi menjadi lambat. Tadi aku terbangun pukul 7.00 seperti
biasa. Dan setelah mengahabiskan satu buku dengan ketebalan 300 halaman,
ternyata waktu masih pukul 8.00. ada yang salah, tapi apa? Selalu ada yang
luput.
Tempat asing,
tempat aneh, dan apa jadinya terus begini?
Kemudian yang
kembali menyerangku adalah ruas jalan kota, menuju rumah makan itu. jalan tidak
ada sinyal ponsel. Aku sudah mengatakan ini pada kekasihku. Aku tidak suka
jalanan ini. Kay malah menanyakan sesuatu yang tak ku ragukan selama ini .
“Mau
berdoa?” bisiknya
Dan aku
menjawab “aku tak yakin betul tentang tuhan. Kamu mau mengajariku?”
Tiba-tiba
bayangan ibuku dating. Aku menjadi lapar. Ada ikan wader di otakku, ikan bumbu
mrica yang pedas menyiksa air liurku. Apa itu yang membuatku bersalah? Benar saja
ponselku bergetar. Aneh. Ada pesan pendek yang panjang. “Selamat datang di alam terakhir, tempat orang memanen segala apa yang
luput. Silakan menuju pintu yang ke Sembilan dan cobalah memilih benda yang
paling berharga untukmu”
Ada pistol.
Dan aku ambil. Mengesampingkan bunga, puisi dan buku bacaan yang pernah ingin
di bahas kekasihku.
“Aku dimana?”
“Alam terakhir,
kau sudah mati di racun kekasihmu dan kau membunuh kekasihmu dengan pistol,
jadi barang apa yang kau bawa untuk bekal?” kata penjaga pintu
Aku menunjukkan
pistol sambal berkata “jaga-jaga untuk memastikan keamanan nanti”
2017
0 komentar: