Bus Pengantar Perpisahan
kau melesatkan
senyum, seperti melesatkan butir peluru ke keningku. Begitu panas. Lantas kulihat
bahumu begitu tegap.
***
Setelah sama-sama
kita sepakat. Kami putuskan untuk mengakhiri semua. Dan kami memilihnya dalam
perjalanan ke sebuah kota yang kau kenal baik. Kota dengan debur ombak dan
segala rasa pulang kan berlabuh.
kau menungguku di
sebuah halte. Aku terlambat seperti biasanya saat membuat janji dengannya. Aku masih
di perjalanan menuju ke arahmu di sebuah halte itu. Tampaknya kau tak menyadariku,
jadi ku putuskan memperlambat langkah. Mungkin ini pertemuan yang terakhir,
maka kugunakan sebaik mungkin untuk menatap wajahmu.
Ada aroma besi
munguar. Panas aspal juga. Semua terasa panas. Tapi aku melihatmu tetap bersahaja.
Masih cocok dengan baju abu-abu bermotif bunga. Menunduk dengan ketenangan. Aku
semakin memeperlambat langkahku. Hanya sesekali kau melihat ponsel. Memastikan pesanmu
terkirim padaku dengan baik. Dan memastikan bahwa aku akan menyelesaikan ini
dengan baik-baik. Benar saja. Ponselku bergetar.
“Bergegaslah”
Kau sedang marah,
menurutku. Tapi sengaja aku semakin memperlambat jalanku. Dan ku pastikan lagi
ini adalah melihatmu untuk yang terakhir kali. Tetap saja kau masih terlihat
tenang.
Ku pikir tak
masalah aku semakin melambat langkahku. Bus disini hanya mempunyai jeda lima
belas menit saja. Dan nanti kita akan menghabiskan di atas bus selama empat
jam. Itu tidak adil. Perpisahan seharusya tidak hanya empat jam. Itu terlalu
pendek untuk membuang rasa lama. Aku semakin mendekatinya dan astaga. kau melihatku.
Aku senyum, hanya untuk menyembuhkan rasa kecewaku. Setelah tertangkap basah
seperti ini aku akan mempercepat langkahku dan pura-pura ramah.
“apa kabar?” aku
melemparnya, tapi kenapa ucapan itu? aku masih bodoh seperti katamu tempo hari
yang sama-sama menunggu bus.
Sial. Kau hanya
senyum. Berhasil menangkap kebodohanku.
“bus kita datang”
katamu.
“tunggu, aku akan
membeli sesuatu untuk di bus nanti” aku bergegas. Aku membeli banyak cemilan
dan air minum. Saat semua sudah ada, aku menuju kembali ke arah, namun ada
sesuatu yang kurang. Sebuah tisu, mungkin sebuah tisu akan sangat berguna nanti.
Aku berlari dengan senyum. Naik bus dengan kaki kanan.
Kau berhenti
sebentar dan melihat kursi di deretan kiri. Deretan kursi yang berisi hanya dua
orang. Wajar saja kau memilihnya. Mungkin ini akan sangat intim untuk
perbincangan perpisahan. Namun itu hal biasa. Aku sudah berjaga-jaga dengan
tisu bila kau mulai menangis.
Akhirnya semua
melaju. Ku lihat pohon-pohon dan gedung tertinggal di belakang. Ku pikir ini
perpisahan yang sulit. Tapi mata perempuan di sampingku begitu tenang. Ada apa?
Ia tak tertarik untuk bersedih karena perpisahan ini? atau begitulah caranya
bersedih? Semua terasa bercabang. Dan matamu kembali taksa. Seperti yang dulu
ku lihat saat menyukaimu.
Bus semakin
kencang. Aku ingin bicara, tapi percuma aku bukan orang yang pandai mengawali
sesuatu. Apalagi ucapan perpisahan semacam ini. Aku hanya memandang keluar
jendela. Membaca nama papan toko, nama sponsor minuman ringan dan lain sebagainya.
Pada suatu papan iklan aku merasa tergelitik juga merasa hal yang aneh. Iklan itu
bertulis pas di tangan dari pada tangan
mantan. Ya aku membeli minuman itu. Dan setelah ini, setelah semua akan
berakhir di sebuah bus. Aku akan menggegam botol minuman itu erat-erat. Mungkin.
“ehem” kau berdehem.
Setelah beberapa nama toko yang ku baca akhirnya kau berdehem. Bisa jadi ini
awal dari pembicaraan itu. Aku membalasnya “ehem”. kau juga tak kunjung
mengangkat bicaranya. Aku berdehem lagi dan beralibi mengambil botol minum
dalam tasku. Aku menyisihkan botol yang di papan iklan tadi.
“kau haus?” aku
mengulungkan botol itu. Kau mengambilnya dengan cekatan. Menuangkan ke dalam
tenggorokkan dengan sangat serakah. Aku terbelalak oleh itu.
“sisikan untukku,
aku tidak ingin meminum yang akan ku pegang erat saat melihat kau melenggang
erat” batinku. Aku menatapnya. Dan berpura-pura bertanya “apa kau begitu haus?”
agar ia menghentikan minumnya itu.
“tidak, hanya
membantu menghilangkan rasa canggung aja”
“butuh tisu? Ini akan
menjadi perjalanan yang berat” aku mengulungkannya.
“iya” ucapmu
sambil mengambil tisu dan memulangkan botol minumnya.
“apa kau menyesal mengenalku?”
“ada apa? Apa kau
menyesalinya?”
Tak ada jawaban. aku
hanya menatap keluar jendela. Mampus. Ia akan terkoyak dan aku juga. Namun setelah
itu tak ada perbincangan lagi. Terasa berat untuk saling bertukar kata.
“apa aku harus
memulangkan bukumu tempo hari?” kembali kau menatapku.
“simpan saja. Mungkin
akan mengingatkanmu padaku suatu hari nanti”
“mungkin aku akan
membakarnya, karena tidak mungkin aku menaruhmu di rak. Itu akan mengingatkan
segala rasa kesalku selama ini padaku, dan apa rencanamu setelah perjalanan ini
usai?”
“aku akan
menunggu seseorang sejenak di terminal itu, kau?”
“aku akan pergi
ke sebuah kedai dan melupakanmu dengan secangkir kopi”
“rencana yang
cukup bagus”
Kau tersenyum
melhatku memujimu.
***
Perjalanan kami
akhirnya usai. Kami turun berdua dan saling bersitatap.
“biar ku atar kau memesan taksi”
“tidak usah, aku
bisa sendiri”
Ia melesatkan
senyum, seperti melesatkan butir peluru ke keningku. Begitu panas. Lantas kulihat
bahunya begitu tegap. Dan begitu seharusnya. Rasa lega menghampiri kami berdua.
Atau rasa kehilangan yang kau sembunyikan. Masih begitu taksa.
Dan entah aku
bergegas mengambil botol hijau yang tadi ku baca iklannya. Terasa begitu pas di
tangan dari pada tangan seorang mantan. Namun baru saja kau melihat kekasihmu
melenggang pergi dari hadapanmu.
Ponselku kembali
bergetar. Aku mengangkatnya. Dan suara seorang wanita setengah berteriak “cepat
kemari, ini hari ulang tahun anakmu, jangan lupakan itu.”
0 komentar: