Bus Pengantar Perpisahan

19.30 0 Comments





kau melesatkan senyum, seperti melesatkan butir peluru ke keningku. Begitu panas. Lantas kulihat bahumu begitu tegap.
***
Setelah sama-sama kita sepakat. Kami putuskan untuk mengakhiri semua. Dan kami memilihnya dalam perjalanan ke sebuah kota yang kau kenal baik. Kota dengan debur ombak dan segala rasa pulang kan berlabuh.

kau menungguku di sebuah halte. Aku terlambat seperti biasanya saat membuat janji dengannya. Aku masih di perjalanan menuju ke arahmu di sebuah halte itu. Tampaknya kau tak menyadariku, jadi ku putuskan memperlambat langkah. Mungkin ini pertemuan yang terakhir, maka kugunakan sebaik mungkin untuk menatap wajahmu. 

Ada aroma besi munguar. Panas aspal juga. Semua terasa panas. Tapi aku melihatmu tetap bersahaja. Masih cocok dengan baju abu-abu bermotif bunga. Menunduk dengan ketenangan. Aku semakin memeperlambat langkahku. Hanya sesekali kau melihat ponsel. Memastikan pesanmu terkirim padaku dengan baik. Dan memastikan bahwa aku akan menyelesaikan ini dengan baik-baik. Benar saja. Ponselku bergetar. 

“Bergegaslah” 

Kau sedang marah, menurutku. Tapi sengaja aku semakin memperlambat jalanku. Dan ku pastikan lagi ini adalah melihatmu untuk yang terakhir kali. Tetap saja kau masih terlihat tenang.
Ku pikir tak masalah aku semakin melambat langkahku. Bus disini hanya mempunyai jeda lima belas menit saja. Dan nanti kita akan menghabiskan di atas bus selama empat jam. Itu tidak adil. Perpisahan seharusya tidak hanya empat jam. Itu terlalu pendek untuk membuang rasa lama. Aku semakin mendekatinya dan astaga. kau melihatku. Aku senyum, hanya untuk menyembuhkan rasa kecewaku. Setelah tertangkap basah seperti ini aku akan mempercepat langkahku dan pura-pura ramah. 

“apa kabar?” aku melemparnya, tapi kenapa ucapan itu? aku masih bodoh seperti katamu tempo hari yang sama-sama menunggu bus.

Sial. Kau hanya senyum. Berhasil menangkap kebodohanku.
“bus kita datang”  katamu.

“tunggu, aku akan membeli sesuatu untuk di bus nanti” aku bergegas. Aku membeli banyak cemilan dan air minum. Saat semua sudah ada, aku menuju kembali ke arah, namun ada sesuatu yang kurang. Sebuah tisu, mungkin sebuah tisu akan sangat berguna nanti. Aku berlari dengan senyum. Naik bus dengan kaki kanan. 

Kau berhenti sebentar dan melihat kursi di deretan kiri. Deretan kursi yang berisi hanya dua orang. Wajar saja kau memilihnya. Mungkin ini akan sangat intim untuk perbincangan perpisahan. Namun itu hal biasa. Aku sudah berjaga-jaga dengan tisu bila kau mulai menangis. 

Akhirnya semua melaju. Ku lihat pohon-pohon dan gedung tertinggal di belakang. Ku pikir ini perpisahan yang sulit. Tapi mata perempuan di sampingku begitu tenang. Ada apa? Ia tak tertarik untuk bersedih karena perpisahan ini? atau begitulah caranya bersedih? Semua terasa bercabang. Dan matamu kembali taksa. Seperti yang dulu ku lihat saat menyukaimu.

Bus semakin kencang. Aku ingin bicara, tapi percuma aku bukan orang yang pandai mengawali sesuatu. Apalagi ucapan perpisahan semacam ini. Aku hanya memandang keluar jendela. Membaca nama papan toko, nama sponsor minuman ringan dan lain sebagainya. Pada suatu papan iklan aku merasa tergelitik juga merasa hal yang aneh. Iklan itu bertulis pas di tangan dari pada tangan mantan. Ya aku membeli minuman itu. Dan setelah ini, setelah semua akan berakhir di sebuah bus. Aku akan menggegam botol minuman itu erat-erat. Mungkin.

“ehem” kau berdehem. Setelah beberapa nama toko yang ku baca akhirnya kau berdehem. Bisa jadi ini awal dari pembicaraan itu. Aku membalasnya “ehem”. kau juga tak kunjung mengangkat bicaranya. Aku berdehem lagi dan beralibi mengambil botol minum dalam tasku. Aku menyisihkan botol yang di papan iklan tadi.
 
“kau haus?” aku mengulungkan botol itu. Kau mengambilnya dengan cekatan. Menuangkan ke dalam tenggorokkan dengan sangat serakah. Aku terbelalak oleh itu.

“sisikan untukku, aku tidak ingin meminum yang akan ku pegang erat saat melihat kau melenggang erat” batinku. Aku menatapnya. Dan berpura-pura bertanya “apa kau begitu haus?” agar ia menghentikan minumnya itu. 

“tidak, hanya membantu menghilangkan rasa canggung aja”
 
“butuh tisu? Ini akan menjadi perjalanan yang berat” aku mengulungkannya.

“iya” ucapmu sambil mengambil tisu dan memulangkan botol minumnya.

 “apa kau menyesal mengenalku?”

“ada apa? Apa kau menyesalinya?”

Tak ada jawaban. aku hanya menatap keluar jendela. Mampus. Ia akan terkoyak dan aku juga. Namun setelah itu tak ada perbincangan lagi. Terasa berat untuk saling bertukar kata.

“apa aku harus memulangkan bukumu tempo hari?” kembali kau menatapku.

“simpan saja. Mungkin akan mengingatkanmu padaku suatu hari nanti”

“mungkin aku akan membakarnya, karena tidak mungkin aku menaruhmu di rak. Itu akan mengingatkan segala rasa kesalku selama ini padaku, dan apa rencanamu setelah perjalanan ini usai?”

“aku akan menunggu seseorang sejenak di terminal itu, kau?”

“aku akan pergi ke sebuah kedai dan melupakanmu dengan secangkir kopi”

“rencana yang cukup bagus”
 
Kau tersenyum melhatku memujimu.
***
Perjalanan kami akhirnya usai. Kami turun berdua dan saling bersitatap.

 “biar ku atar kau memesan taksi”

“tidak usah, aku bisa sendiri”

Ia melesatkan senyum, seperti melesatkan butir peluru ke keningku. Begitu panas. Lantas kulihat bahunya begitu tegap. Dan begitu seharusnya. Rasa lega menghampiri kami berdua. Atau rasa kehilangan yang kau sembunyikan. Masih begitu taksa. 

Dan entah aku bergegas mengambil botol hijau yang tadi ku baca iklannya. Terasa begitu pas di tangan dari pada tangan seorang mantan. Namun baru saja kau melihat kekasihmu melenggang pergi dari hadapanmu. 

Ponselku kembali bergetar. Aku mengangkatnya. Dan suara seorang wanita setengah berteriak “cepat kemari, ini hari ulang tahun anakmu, jangan lupakan itu.”

afifi

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard. Google

0 komentar: