Kenangan dalam Kemasan Kopi kaleng

19.24 0 Comments




Nah sekarang aku serasa sedang gantung diri. Menunggu seseorang ceritanya. Sebenarnya hanya prasangka. Ia akan datang dari arah barat. Atau bisa saja ia datang dari arah timur. Mungkin saja, karena jalan ini mempunyai dua kemungkinan. Rasa-rasanya begitulah nantinya apa yang akan saya hadapi. Menerima persimpangan juga mempunyai banyak kemungkinan dalam pemilihan. Ketidakteraturan memang yang selalu istemewa. 

Saya berharap, nilai saya yang nol dengan warna merah besar pada saat saya duduk di kelas entah itu. Tak pernah menyurutkan saya untuk memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang ada. Kayak perhitungan nilai peluang dalam pelajaran matematika. Akan pada waktunya kisah ini baru terulang.

Zengzengzeng. Saya  sedang mendengarkan musik. Sebuah musik sendu. Bisa saja saya ngatuk dalam ritual menunggu ini. jadi saya mulai ingat-ingat masa kecil yang menjenuhkan. Saat saya harus ke tempat dokter dan antri dengan ibu. Menunggu atrian adalah hal yang membosankan. Tapi untung saja ibuku sering baik hati, ia selalu mengangguk saat saya ingin lari-lari keliling ruangan yang tenang itu. Atau naik kuda-kudaan kayak penyihir. Oh ya. Kembali ke masa dewasa. Musik saya sudah sampai ujung. Yang saya tunggu belum juga tiba. Tapi tak ada ibu yang menggangguk, sedangkan bosan telah merambah. Saya juga sedang mengumpat.

***
Tapi sebelum proses menunggu ini saya akan bicarakan tentang siapa yang saya tunggu. Berawal dari sini: Tempat makan sedang ramai. Tapi perempuan itu tetap saja bermain dengan koin. Semua dunianya seolah berada disana. Tiada dunia lain lagi.

“aku menyukai uang koin” katanya saat aku mulai mendekat. Tapi tak pernah kulihat matanya mengatakan hal yang sepadan. Tak ada cara memandang dengan rasa suka. Matanya nanar “koin hanya memiliki dua sisi, namun tetap saling terkait. Tinggal pada waktu tertentu kau harus menunjukkan sisi tertentu pada orang tertentu juga” lanjutnya dengan sedikit sinis. Aku tahu perempuan ini sedang menunjukkannya padaku.

Dan ia melanjutkan kembali pembicaraannya padaku yang memilih menemaninya. Tapi agak samar, ia seolah membaca mantra dan tiba-tiba “aku suka gambar angklung, ia mewakili suka cita”. Ya aku bisa menangkapnya. Aku menggeser kursi perlahan dan menaruh pesananku di depannya. “kau boleh meminta makananku kalau kau suka” kataku.

Aku mengenalnya sejak lama. Semenjak sekolah menengah pertama. Saat itu ia cantik dengan rambut kuncir ekor kuda. Tapi ia bukan wanita idaman para lelaki. Bayangkan gadis yang duduk di depanku berkacamata dan kutu buku. Apalagi saat kau mencoba mengajaknya ngobrol. Bla ..bla dia membahas soal buku.

Aneh untuk awalnya dan terasa menyenangkan untukku yang tak suka bicara. Aku hanya ingin mendengarkan. Aku hanya membuka kalimat dengan beberapa pertanyaan. Selebihnya ia yang menceritakan semuanya. 

 Seperti hari ini. aku hanya menceritakan soal permasalahanku. Tentu ia punya sikap lain yang selalu ku tunggu-tunggu. Karena gadis ini sudah hampir rampung untuk kerjaan akhirnya di sebuah univesitas. Tapi aku memaksanya untuk datang ke mari dan mencoba membujuknya untuk merayakan sesuatu yang hilang dariku.

“aku baru saja berkeliling, tentu dengan hasil yang memuaskan” aku mengalihkan pembicara. Mungkin sarannya menurutku agak keterlaluan jadi lebih baik kalau kami saling membahas kesukaan satu dan lainnya. Aku mengambil laptop dan menyalakan. Memindah segala foto ke laptop.

“apa kau tak suka yang berwarna, kenapa harus monokrom?

“lebih puitis dan inilah aku, hanya dua warna bagian gelap dan terang itu saja”

“kau memilih yang gelap bukan?”

“iya, seperti kau memilih angklung pada uang koinmu. Apa kau tak begitu terlihat munafik dengan menunjukkan wajah tertentu pada orang lain?”

“itu kebutuhan”

***

Setelah itu saya tak ingat lagi pembicaraan dengannya. Aku tetap saja berharap ibuku ada ditempat ini kemudian dengan tiba-tiba mengangguk. Mungkin akan sedikit mengusir rasa bosanku. “gadis pemalas, tapi manis”. Oppss saya mengumpat kembali.

saya sedang mendengarkan musik di sebuah tempat berpergian sekaligus tempat kedatangan. Sedang mengambil cuti. Sedang menunggu mobil yang akan menjemputku dan aku akan mengatakan pada pak sopir “bolelah aku berkeliling diderah sekitar yang terlihat oriental ini”.

Suasana habis hujan memang kadang tak terduga. Musik begitu terasa nikmat dan membosankan. Aku ingin tetap terjaga, tapi tetap saja, musim hujan membuat suasana tak terduga. Membuat kisah kantuk yang luar biasa. Juga memberi kisah menunggu ini semakin mejenuhkan.

Kata ibu katanya sebelum tidur harus berdoa dulu. Aku melontarkannya dengan khusuk. “Tuhan jikalau saya ketiduran di tempat ini, kirimkanlah kuda-kudaan kayu yang ceria. Oh ya ibuku yang mengangguk juga. Jangan lupa lho Tuhan. Terimakasih”.

Tapi kira-kira kantuk yang kuat itu, ada yang datang. Gadis kuncir kuda dengan aroma wangi yang keras kepala, dari ara timur. Tapi tunggu dulu. Aku tidak bisa membedakan arah mata angin. Ku kira itu barat. Tapi ini masih pagi. Apa itu timur? Saya berkeyakinan bahwa gadis kuncir kuda dengan aroma wangi yang keras kepala itu datang dari arah barat. Fix.

Zeng. Musik mati dan ia menyodorkan kopi kalengan yang pait. “aku tahu kau sedang mengantuk, jadi firasatku bilang aku harus beli ini” ia tersenyum dan manis sekali. Tapi jika saya tidak terlalu banyak menenggak kopi kalengan ini.

“kau bunuh diri?”

“ada apa?”

“kopi kalengan itu kenanganmu, kenapa aku yang harus meminum kenanganmu”

“aku hendak berbagi kenangan saja”

“terlalu paitkah?”

“kadang, tapi coba meminumnya dengan teliti, kau akan menemui rasa manis yang spontan tapi itu jika kau beruntung”

“ini tidak seperti kisah Mirna dan Jesicca bukan?”

“aku gak sepintar itu untuk memulai pembunuhan”

Saya putuskan mengambil dan menenggak kenangannya yang akan terasa asing itu. Glek. Apa cerita ini akan bersambung disini? Saya putuskan tidak. Dia benar, kalau dia pembunuh dengan racun di kopi.

“oh ya, tadi aku berkhayal akan pergi ketempat yang oriental”

“aku akan mengajakmu makan terlebih dahulu”

***

Makanan kami ludes. Ia masih terlihat manis, meski keningnya agak berkeringat karena rasa pedas dari ikan pindang balado. “Apa kita akan jalan sekarang?” tanyanya.

“aku terkena serangan malas. Apa kau akan bersabar?”

“lelaki pemalas, tapi jelek”. Sial dia mengumpat.

Ia ke kasir dan membayar semuanya. “aku dapat koin gambar angklung” ia memutarnya.

“apa yang kau tunjukkan padaku saat ini? sisi yang mana?”

“angka” tegasnya.

“ya itu sesuatu yang rumit” kataku “kau juga pernah dapat nilai nol bukan?”

“ya, tapi kayaknya lebih menarik kalau kita bicarakan cerpenmu di blog. Ku pikir itu keterlaluan. Kenapa selalu sedih dan membicarakan kematian? Putus juga? Terlalu picisan. Namun sayangnya kau tak menggunakan senja saja”

“aku sudah memilih area gelap”

Hening. Saya sendawa amis ikan pindang balado. Tapi pelan. “Mari jalan-jalan” terusku.

“kau sedang ngidam ke atas awan ya”

Saya dan gadis kuncir kuda dengan wangi yang keras kepala ditambah kening yang berkeringat karena makan ikan pindang balado, bangkit meninggalkan tempat makan yang menyuguhkan kami ikan pindang balado itu. Dan masih terasa manis juga pahit kenangan kopi kalengan itu. Kau harus 
hati-hati meminumnya.


afifi

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard. Google

0 komentar: