Kenangan dalam Kemasan Kopi kaleng
Nah sekarang aku
serasa sedang gantung diri. Menunggu seseorang ceritanya. Sebenarnya hanya
prasangka. Ia akan datang dari arah barat. Atau bisa saja ia datang dari arah
timur. Mungkin saja, karena jalan ini mempunyai dua kemungkinan. Rasa-rasanya
begitulah nantinya apa yang akan saya hadapi. Menerima persimpangan juga
mempunyai banyak kemungkinan dalam pemilihan. Ketidakteraturan memang yang
selalu istemewa.
Saya berharap,
nilai saya yang nol dengan warna merah besar pada saat saya duduk di kelas
entah itu. Tak pernah menyurutkan saya untuk memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan yang ada. Kayak perhitungan nilai peluang dalam
pelajaran matematika. Akan pada waktunya kisah ini baru terulang.
Zengzengzeng. Saya sedang mendengarkan musik. Sebuah musik sendu.
Bisa saja saya ngatuk dalam ritual menunggu ini. jadi saya mulai ingat-ingat
masa kecil yang menjenuhkan. Saat saya harus ke tempat dokter dan antri dengan
ibu. Menunggu atrian adalah hal yang membosankan. Tapi untung saja ibuku sering
baik hati, ia selalu mengangguk saat saya ingin lari-lari keliling ruangan yang
tenang itu. Atau naik kuda-kudaan kayak penyihir. Oh ya. Kembali ke masa
dewasa. Musik saya sudah sampai ujung. Yang saya tunggu belum juga tiba. Tapi tak
ada ibu yang menggangguk, sedangkan bosan telah merambah. Saya juga sedang
mengumpat.
***
Tapi sebelum
proses menunggu ini saya akan bicarakan tentang siapa yang saya tunggu. Berawal
dari sini: Tempat makan sedang ramai. Tapi perempuan itu tetap saja bermain
dengan koin. Semua dunianya seolah berada disana. Tiada dunia lain lagi.
“aku menyukai
uang koin” katanya saat aku mulai mendekat. Tapi tak pernah kulihat matanya
mengatakan hal yang sepadan. Tak ada cara memandang dengan rasa suka. Matanya
nanar “koin hanya memiliki dua sisi, namun tetap saling terkait. Tinggal pada
waktu tertentu kau harus menunjukkan sisi tertentu pada orang tertentu juga”
lanjutnya dengan sedikit sinis. Aku tahu perempuan ini sedang menunjukkannya
padaku.
Dan ia
melanjutkan kembali pembicaraannya padaku yang memilih menemaninya. Tapi agak
samar, ia seolah membaca mantra dan tiba-tiba “aku suka gambar angklung, ia
mewakili suka cita”. Ya aku bisa menangkapnya. Aku menggeser kursi perlahan dan
menaruh pesananku di depannya. “kau boleh meminta makananku kalau kau suka”
kataku.
Aku mengenalnya
sejak lama. Semenjak sekolah menengah pertama. Saat itu ia cantik dengan rambut
kuncir ekor kuda. Tapi ia bukan wanita idaman para lelaki. Bayangkan gadis yang
duduk di depanku berkacamata dan kutu buku. Apalagi saat kau mencoba
mengajaknya ngobrol. Bla ..bla dia
membahas soal buku.
Aneh untuk
awalnya dan terasa menyenangkan untukku yang tak suka bicara. Aku hanya ingin
mendengarkan. Aku hanya membuka kalimat dengan beberapa pertanyaan. Selebihnya
ia yang menceritakan semuanya.
Seperti hari ini. aku hanya menceritakan soal
permasalahanku. Tentu ia punya sikap lain yang selalu ku tunggu-tunggu. Karena
gadis ini sudah hampir rampung untuk kerjaan akhirnya di sebuah univesitas.
Tapi aku memaksanya untuk datang ke mari dan mencoba membujuknya untuk
merayakan sesuatu yang hilang dariku.
“aku baru saja
berkeliling, tentu dengan hasil yang memuaskan” aku mengalihkan pembicara.
Mungkin sarannya menurutku agak keterlaluan jadi lebih baik kalau kami saling
membahas kesukaan satu dan lainnya. Aku mengambil laptop dan menyalakan.
Memindah segala foto ke laptop.
“apa kau tak suka
yang berwarna, kenapa harus monokrom?
“lebih puitis dan
inilah aku, hanya dua warna bagian gelap dan terang itu saja”
“kau memilih yang
gelap bukan?”
“iya, seperti kau
memilih angklung pada uang koinmu. Apa kau tak begitu terlihat munafik dengan
menunjukkan wajah tertentu pada orang lain?”
“itu kebutuhan”
***
Setelah itu saya
tak ingat lagi pembicaraan dengannya. Aku tetap saja berharap ibuku ada
ditempat ini kemudian dengan tiba-tiba mengangguk. Mungkin akan sedikit
mengusir rasa bosanku. “gadis pemalas, tapi manis”. Oppss saya mengumpat kembali.
saya sedang
mendengarkan musik di sebuah tempat berpergian sekaligus tempat kedatangan.
Sedang mengambil cuti. Sedang menunggu mobil yang akan menjemputku dan aku akan
mengatakan pada pak sopir “bolelah aku berkeliling diderah sekitar yang
terlihat oriental ini”.
Suasana habis
hujan memang kadang tak terduga. Musik begitu terasa nikmat dan membosankan.
Aku ingin tetap terjaga, tapi tetap saja, musim hujan membuat suasana tak terduga.
Membuat kisah kantuk yang luar biasa. Juga memberi kisah menunggu ini semakin
mejenuhkan.
Kata ibu katanya
sebelum tidur harus berdoa dulu. Aku melontarkannya dengan khusuk. “Tuhan
jikalau saya ketiduran di tempat ini, kirimkanlah kuda-kudaan kayu yang ceria. Oh
ya ibuku yang mengangguk juga. Jangan lupa lho
Tuhan. Terimakasih”.
Tapi kira-kira
kantuk yang kuat itu, ada yang datang. Gadis kuncir kuda dengan aroma wangi
yang keras kepala, dari ara timur. Tapi tunggu dulu. Aku tidak bisa membedakan
arah mata angin. Ku kira itu barat. Tapi ini masih pagi. Apa itu timur? Saya berkeyakinan
bahwa gadis kuncir kuda dengan aroma wangi yang keras kepala itu datang dari
arah barat. Fix.
Zeng. Musik mati dan ia menyodorkan kopi kalengan yang pait. “aku tahu kau sedang
mengantuk, jadi firasatku bilang aku harus beli ini” ia tersenyum dan manis
sekali. Tapi jika saya tidak terlalu banyak menenggak kopi kalengan ini.
“kau bunuh diri?”
“ada apa?”
“kopi kalengan
itu kenanganmu, kenapa aku yang harus meminum kenanganmu”
“aku hendak
berbagi kenangan saja”
“terlalu paitkah?”
“kadang, tapi
coba meminumnya dengan teliti, kau akan menemui rasa manis yang spontan tapi
itu jika kau beruntung”
“ini tidak
seperti kisah Mirna dan Jesicca bukan?”
“aku gak sepintar
itu untuk memulai pembunuhan”
Saya putuskan
mengambil dan menenggak kenangannya yang akan terasa asing itu. Glek. Apa cerita ini akan bersambung
disini? Saya putuskan tidak. Dia benar, kalau dia pembunuh dengan racun di
kopi.
“oh ya, tadi aku
berkhayal akan pergi ketempat yang oriental”
“aku akan
mengajakmu makan terlebih dahulu”
***
Makanan kami
ludes. Ia masih terlihat manis, meski keningnya agak berkeringat karena rasa
pedas dari ikan pindang balado. “Apa kita akan jalan sekarang?” tanyanya.
“aku terkena
serangan malas. Apa kau akan bersabar?”
“lelaki pemalas,
tapi jelek”. Sial dia mengumpat.
Ia ke kasir dan
membayar semuanya. “aku dapat koin gambar angklung” ia memutarnya.
“apa yang kau
tunjukkan padaku saat ini? sisi yang mana?”
“angka” tegasnya.
“ya itu sesuatu
yang rumit” kataku “kau juga pernah dapat nilai nol bukan?”
“ya, tapi
kayaknya lebih menarik kalau kita bicarakan cerpenmu di blog. Ku pikir itu
keterlaluan. Kenapa selalu sedih dan membicarakan kematian? Putus juga? Terlalu
picisan. Namun sayangnya kau tak menggunakan senja saja”
“aku sudah
memilih area gelap”
Hening. Saya sendawa
amis ikan pindang balado. Tapi pelan. “Mari jalan-jalan” terusku.
“kau sedang
ngidam ke atas awan ya”
Saya dan gadis
kuncir kuda dengan wangi yang keras kepala ditambah kening yang berkeringat
karena makan ikan pindang balado, bangkit meninggalkan tempat makan yang
menyuguhkan kami ikan pindang balado itu. Dan masih terasa manis juga pahit
kenangan kopi kalengan itu. Kau harus
hati-hati meminumnya.
0 komentar: