Pengalaman Pertama Mati

23.54 , 0 Comments




Lelaki berusia 21 tahun itu mati di tempeleng orang gila, saat pulang dari sebuah omong kosong. Sebelumnya, ia merasa begitu gelap sebelum menyadari bahwa dirinya sedang mati. Disebuah gang kecil dan menemukan bentuk lain seperti dirinya sekaligus yang membangkitkan kesadarannya bahwa ia sedang mati. Tentu saja, ia panik. Seperti ia mengalami kepanikan saat menghadapi sesuatu yang baru. Naik kereta misalnya atau berpergian ke temat yang asing. Begitu juga mati baginya.

Namun setelah ia menimbang-nimbang. Tak ada yang perlu disesali dari sebuah kematian yang ia alami hari ini. Bukankah ia sedang muak dengan kehidupannya hari ini? maksud saya sebelum lelaki itu mati. Sekarang yang ia pikirkan adalah menemukan orang untuk membantu membawa jasadnya ke tempat yang aman. Ke tempat yang tak begitu gelap dan banyak kecoa seperti di gang itu. Karena ia begitu takut akan kediua hal itu.

Ia ingin mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Tentu saja itu tidak bisa ia lakukan begitu saja, karena ia sudah mati. Memang begitulah adegannya, seperti sering ia lihat di televisi.

Kemudian ia juga menyadari bahwa dirinya sekarang adarah arwah. Seperti yang ada di televisi. Bukankah arwah bisa kemana saja yang ia mau? Aha. Ini ide yang bagus. Tetap saja ia bingung dengan segalanya. Ia akan kemana? Menemui siapa?

Memang banyak teman yang masih hidup. Tapi apakah mereka pantas dimintai pertolongan semacam ini? Tiba-tiba ia berpikir akan menemui wanita yang telah membuatnya jatu cinta setahun yang lalu. Lantas apa yang dibenaknya kemudian tiba-tiba berubah. Bahwa seseorang yang dimasud sedang pelatihan esai dan kewanitaan di sebuah hotel berbintang. Jadi ia berpikir tidak akan kesana, karena itu akan membuatnya panik dan tiba-tiba menangis kayak biasanya. Ia mengurungkan dengan cepat.

Memikirkan orang lain adalah jalan akan menuju keberhasilan. Tapi siapa? Teman yang bagaimana yang harus ia mintai pertolongan memindahkan jenazahnya dari gang yang gelap dan penuh kecoa itu. Apakah lelaki kriting, berkacamata dan berwajah suram itu? Mungkin saja. Tapi ia agak kesal dengannya. Kenapa ia selalu membaca smsnya keras-keras ke wanita yang membuatnya jatuh cinta setahun lalu sebelum mengetiknya. Padahal ia tidak cemburu sama sekali. Hanya ia ingin menyenangkannya, jadi ia pura-pura pergi. Agak muak juga mendengar lawakan yang membosankan itu. Bisa jadi juga, ketidakcemburuannya adalah sebuah keputusasaan. Tapi ia sekarang sudah mati. Tetap saja ia mempertimbangkan orang lain. Tanpa alasan yang jelas.

Seperti kepanikan yang sering menyergapnya. Ia sering menggigit jari telunjuknya dengan kedua bibirnya, agar tak membuatnya berdarah. Meskipun ia menyadari bahwa dirinya hari ini adalah arwah, tetap saja ia harus melakukan sama seperti saat masih hidup. Bukankah itu akan tetap menyenangkan dan dapat meminimalisir kekecewaannya?

Ah. Ia masih disana. Di gang kecil dengan jasadnya sendiri. Tak ada darah. Tapi bagaimanapun, ia mati ditempeleng orang gila. Jam berapa kematian ia tidak tahu. Tapi mungkin polisi yang akan repot-repot mencari tahu kematiannya dan banyak menulis alasan kematiannya. Namun ia begitu takut, saat melihat satu orang yang akan mendekat ke jasadnya nanti sambil memukul dadanya sendiri. Selalu begitu: ibunya selalu membuatnya khawatir, apalagi kalau-kalau dalam keadaan menangis. Hal yang menjengkelkan.

Ia kembali pada perenungan awalnya. Ia harus menemukan orang yang akan memindakan jenazahnya. Dan pertanyaannya masih sama “siapa?”. 

Ia mengingat kembali bebeberapa kawannya. Tiba-tiba ponsel di saku celana mayatnya sendiri berdering. Ada yang memanggil. Ah teman dari luar kota. Paling mau menanyakan kabar dan “kapan lulus”. Terasa tidak penting bagi orang yang sudah mati. 

Apakah masih terasa lucu jika ia menjawab semua pertanyaannya dengan “hai, kabarku? Emm, aku sudah mati dan lulus kapan? Mungkin lain waktu saat aku berkesempatan hidup lagi dan kuliah lagi. Dan maaf, lagi bingung nih, lagi nyari orang buat mindah jasadku. Kasian. Masak mati di tempat yang begitu sepi. Jadi udahan ya. Mau ngurus ini dulu. Oh ya bilang pada ibu, jangan nangis terlalu lama, nanti kasian adik, gak kebagian air mata. Udah dulu ya. Dan maaf banget lho” dan bib. Enggak lucu bukan? Makanya ia tidak mengangkat telpon itu. 

Pada panggilan ke sepuluh, telpon itu berhenti berdering. Mungkin sudah putus asa. Namun sesuatu yang bodoh baru ia sadari. Seandainya telponnya dalam keadaan berbunyi pasti akan kedengeran orang lain, lantas segera mengetahui jasadnya. Jika ada rasa iba, tentu orang itu akan membawanya ke tempat yang lebih ia suka. Seperti di depan emperan toko. Tapi sayang. Ponselnya ia atur dalam mode getar saja. Sesuatu yang bodoh itulah yang membuatnya bertapa bodoh saat mati yang konyol itu. Juga ia menyadari bahwa hidup dengan mode getar di ponsel adalah kebodohan yang lain. Tapi ia tetap berharap temannya menelpon sekali lagi. Kalaupun gak berbunyi, toh masih ada cahaya. Apalagi ini di gang gelap, itu akan lebih dominan. Harapan hanyalah harapan. Kawannya yang diluar kota itu terlanjur putus asa untuk menelpon lagi.

Betapa labilnya jadi orang mati. Andai saja ini pengalamannya yang kedua atau ketiga, tentu ia sudah berhasil mempersiapnnya dengan baik-baik. Termasuk mengatur ponselnya agar bisa berbunyi jika ada panggilan masuk.

Ini sudah jam 23.37. Begitulah ponselnya menunjukkannya. Rasa putus asa juga menghampirinya sekali lagi. “Gak hidup gak mati, selalu menyebalkan seperti ini” keluhnya. Tapi tetap ia harus menemukan orang yang akan memindahkan jasadnya dari gang ini. Ia begitu jijik melihat pemandangan ini. 

Betapa pengalaman mati nan menjengkelkan. Lantas ia menyadari dengan segera bahwa mati maupun hidup sama-sama memuakkan.

afifi

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard. Google

0 komentar: