Pengalaman Pertama Mati
Lelaki berusia 21
tahun itu mati di tempeleng orang gila, saat pulang dari sebuah omong kosong. Sebelumnya,
ia merasa begitu gelap sebelum menyadari bahwa dirinya sedang mati. Disebuah gang
kecil dan menemukan bentuk lain seperti dirinya sekaligus yang membangkitkan
kesadarannya bahwa ia sedang mati. Tentu saja, ia panik. Seperti ia mengalami
kepanikan saat menghadapi sesuatu yang baru. Naik kereta misalnya atau
berpergian ke temat yang asing. Begitu juga mati baginya.
Namun setelah ia
menimbang-nimbang. Tak ada yang perlu disesali dari sebuah kematian yang ia
alami hari ini. Bukankah ia sedang muak dengan kehidupannya hari ini? maksud
saya sebelum lelaki itu mati. Sekarang yang ia pikirkan adalah menemukan orang
untuk membantu membawa jasadnya ke tempat yang aman. Ke tempat yang tak begitu
gelap dan banyak kecoa seperti di gang itu. Karena ia begitu takut akan kediua
hal itu.
Ia ingin
mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. Tentu saja itu tidak bisa ia
lakukan begitu saja, karena ia sudah mati. Memang begitulah adegannya, seperti sering
ia lihat di televisi.
Kemudian ia juga
menyadari bahwa dirinya sekarang adarah arwah. Seperti yang ada di televisi. Bukankah
arwah bisa kemana saja yang ia mau? Aha.
Ini ide yang bagus. Tetap saja ia bingung dengan segalanya. Ia akan kemana? Menemui
siapa?
Memang banyak
teman yang masih hidup. Tapi apakah mereka pantas dimintai pertolongan semacam
ini? Tiba-tiba ia berpikir akan menemui wanita yang telah membuatnya jatu cinta
setahun yang lalu. Lantas apa yang dibenaknya kemudian tiba-tiba berubah. Bahwa
seseorang yang dimasud sedang pelatihan esai dan kewanitaan di sebuah hotel
berbintang. Jadi ia berpikir tidak akan kesana, karena itu akan membuatnya
panik dan tiba-tiba menangis kayak biasanya. Ia mengurungkan dengan cepat.
Memikirkan orang
lain adalah jalan akan menuju keberhasilan. Tapi siapa? Teman yang bagaimana
yang harus ia mintai pertolongan memindahkan jenazahnya dari gang yang gelap
dan penuh kecoa itu. Apakah lelaki kriting, berkacamata dan berwajah suram itu?
Mungkin saja. Tapi ia agak kesal dengannya. Kenapa ia selalu membaca smsnya
keras-keras ke wanita yang membuatnya jatuh cinta setahun lalu sebelum
mengetiknya. Padahal ia tidak cemburu sama sekali. Hanya ia ingin
menyenangkannya, jadi ia pura-pura pergi. Agak muak juga mendengar lawakan yang
membosankan itu. Bisa jadi juga, ketidakcemburuannya adalah sebuah
keputusasaan. Tapi ia sekarang sudah mati. Tetap saja ia mempertimbangkan orang
lain. Tanpa alasan yang jelas.
Seperti kepanikan
yang sering menyergapnya. Ia sering menggigit jari telunjuknya dengan kedua
bibirnya, agar tak membuatnya berdarah. Meskipun ia menyadari bahwa dirinya
hari ini adalah arwah, tetap saja ia harus melakukan sama seperti saat masih
hidup. Bukankah itu akan tetap menyenangkan dan dapat meminimalisir
kekecewaannya?
Ah. Ia masih
disana. Di gang kecil dengan jasadnya sendiri. Tak ada darah. Tapi bagaimanapun,
ia mati ditempeleng orang gila. Jam berapa kematian ia tidak tahu. Tapi mungkin
polisi yang akan repot-repot mencari tahu kematiannya dan banyak menulis alasan
kematiannya. Namun ia begitu takut, saat melihat satu orang yang akan mendekat
ke jasadnya nanti sambil memukul dadanya sendiri. Selalu begitu: ibunya selalu
membuatnya khawatir, apalagi kalau-kalau dalam keadaan menangis. Hal yang
menjengkelkan.
Ia kembali pada
perenungan awalnya. Ia harus menemukan orang yang akan memindakan jenazahnya. Dan
pertanyaannya masih sama “siapa?”.
Ia mengingat
kembali bebeberapa kawannya. Tiba-tiba ponsel di saku celana mayatnya sendiri
berdering. Ada yang memanggil. Ah
teman dari luar kota. Paling mau menanyakan kabar dan “kapan lulus”. Terasa tidak
penting bagi orang yang sudah mati.
Apakah masih
terasa lucu jika ia menjawab semua pertanyaannya dengan “hai, kabarku? Emm, aku sudah mati dan lulus kapan? Mungkin lain waktu
saat aku berkesempatan hidup lagi dan kuliah lagi. Dan maaf, lagi bingung nih,
lagi nyari orang buat mindah jasadku. Kasian. Masak mati di tempat yang begitu
sepi. Jadi udahan ya. Mau ngurus ini dulu. Oh ya bilang pada ibu, jangan nangis
terlalu lama, nanti kasian adik, gak kebagian air mata. Udah dulu ya. Dan maaf
banget lho” dan bib. Enggak lucu bukan? Makanya ia tidak
mengangkat telpon itu.
Pada panggilan ke
sepuluh, telpon itu berhenti berdering. Mungkin sudah putus asa. Namun sesuatu
yang bodoh baru ia sadari. Seandainya telponnya dalam keadaan berbunyi pasti
akan kedengeran orang lain, lantas
segera mengetahui jasadnya. Jika ada rasa iba, tentu orang itu akan membawanya
ke tempat yang lebih ia suka. Seperti di depan emperan toko. Tapi sayang.
Ponselnya ia atur dalam mode getar saja. Sesuatu yang bodoh itulah yang
membuatnya bertapa bodoh saat mati yang konyol itu. Juga ia menyadari bahwa
hidup dengan mode getar di ponsel adalah kebodohan yang lain. Tapi ia tetap
berharap temannya menelpon sekali lagi. Kalaupun gak berbunyi, toh masih ada
cahaya. Apalagi ini di gang gelap, itu akan lebih dominan. Harapan hanyalah
harapan. Kawannya yang diluar kota itu terlanjur putus asa untuk menelpon lagi.
Betapa labilnya
jadi orang mati. Andai saja ini pengalamannya yang kedua atau ketiga, tentu ia
sudah berhasil mempersiapnnya dengan baik-baik. Termasuk mengatur ponselnya
agar bisa berbunyi jika ada panggilan masuk.
Ini sudah jam
23.37. Begitulah ponselnya menunjukkannya. Rasa putus asa juga menghampirinya
sekali lagi. “Gak hidup gak mati, selalu
menyebalkan seperti ini” keluhnya. Tapi tetap ia harus menemukan orang yang
akan memindahkan jasadnya dari gang ini. Ia begitu jijik melihat pemandangan
ini.
Betapa pengalaman
mati nan menjengkelkan. Lantas ia menyadari dengan segera bahwa mati maupun
hidup sama-sama memuakkan.
0 komentar: